Profil Gurdasus : Mengajar di Atas Laut

La Dalisa, S.Pd.
Guru daerah khusus Provinsi Sulawesi Tenggara


Saat pertama kali mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari pemerintah bahwa ia ditempatkan di sebuah sekolah terpencil di Pulau Bangko, La Dalisa, S.Pd bahkan sampai menangis karena merasa dibuang di pulau yang amat jauh dan terpencil. Namun kini ia malah semakin bersyukur, apalagi setelah menerima penghargaan nasional sebagai guru daerah khusus yang berdedikasi dari pemerintah.

Pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Bangko pada tahun 1988, La Dalisa ditempatkan di SDN Pulau Bangko yang terletak di kota kecamatan. Baru pada tahun 1998 ia dipindahkan ke SDN 13 Maginti, hingga tahun 2008. Setelah itu, ia dipindahkan ke SDN 12 Maginti, hingga sekarang. Berjuang dalam mendidik anak-anak, terutama di daerah khusus, dirasakan La Dalisa sebagai sebuah perjuangan yang tidak mudah. Ia harus dapat bertahan dengan segala keminiman dan keprihatinan sarana dan prasarana.

SDN 12 Maginti, yang terletak -+ 110 km dari kota kecamatan, adalah satu-satunya sekolah di Kabupaten Muna yang berdiri di atas laut, dengan disangga tiang-tiang kayu. Karena air maupun cuaca dapat mengikis kayu, maka setiap tiga bulan sekali La Dalisa pun harus membeli 10 – 20 batang tiang untuk kemudian disisipkan supaya penyanggah tetap kuat.

Jika terjadi musim angin barat, dimana biasanya angin bertiup cukup kencang disertai dengan gelombang yang besar, maka La Dalisa tak bisa beranjak kemanapun, bahkan untuk mendarat. Ia harus menunggu ombak surut, yang kadangkala bahkan dapat berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Resikonya, ketika waktu gajian tiba, terpaksa La Dalisa harus menundanya. Karena hidup di tengah laut dengan disangga tiang-tiang, menurut La Dalisa, bahkan tidur pun seperti diayun-ayun. Biasanya, masyarakat Desa Bangko tidak ada yang melaut karena keadaan gelombang yang besar. Sehingga mereka hanya diam di rumah sambil mendengarkan musik saja.

Karena sebagian besar penduduk adalah nelayan, hal yang menyenangkan bagi pria kelahiran Kambara, 31 Desember 1967 ini adalah, para orang tua siswa seringkali memberinya ikan, sehingga ia tak perlu membeli ikan untuk lauk pauk. Yang kurang menyenangkan dari hidup di Pulau Bangko adalah, menurut La Dalisa, mandi sore harus tak lebih dari pukul 4 sore, karena jika lebih dari itu akan digigit banyak nyamuk.

Jumlah siswa di SDN 12 Maginti adalah 247 orang, dengan siswa laki-laki sebanyak 122 orang, dan siswa perempuan sebanyak 125 orang. Dengan sedemikian banyak murid, kurangnya tenaga guru adalah salah satu kendala yang dihadapi SDN 12 Maginti. Sejauh ini, hanya terdapat  9 guru yang hampir kesemuanya adalah guru tidak tetap. Hanya La Dalisa seorang yang adalah guru PNS. Sarana dan prasarananya pun kurang memadai. Hanya terdapat 4 ruang kelas saja, padahal idealnya seharusnya ada 8 kelas. Bahkan dua tahun terakhir ini sekolah terpaksa harus meminjam gedung TK, sehingga anak-anak SD masuk siang ketika anak-anak TK sudah pulang dari sekolah. Media pembelajarannya pun masih sangat kurang, sehingga hanya memanfaatkan peralatan seadanya.

Sebenarnya masyarakat sekitar cukup mendukung adanya pendidikan untuk anak-anaknya. Menurut ayah 5 anak ini, setiap program sekolah yang disampaikan, mereka selalu mendukung. Hanya saja, kendala utama sejauh ini adalah masalah ekonomi, dimana sebagian besar dari mereka adalah masyarakat nelayan yang tidak mampu.

Selain karena ditugaskan oleh pemerintah, La Dalisa bersedia untuk mengabdikan dirinya mengajar di daerah khusus karena panggilan hatinya untuk mendidik anak-anak bangsa di manapun ia berada di seluruh wilayah Indonesia. “Tugas seorang guru adalah mencerdaskan anak-anak bangsa, karena mereka adalah tongkat estafet kepemimpinan bangsa kita di masa yang akan datang,” tuturnya.

Menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi nasional adalah sebuah pengalaman berharga bagi La Dalisa. Juga termasuk pengalamannya pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, naik pesawat, dan menikmati berbagai sajian menarik kota metropolitan. Ia tak segan mengungkapkan kekagumannya saat mengunjungi Masjid Istiqlal Jakarta maupun Kota Tua. ”Saya tertegun dan heran melihat gedung-gedung yang bertingkat, juga masjid Istiqlal yang selama ini hanya saya lihat di televisi. Tapi sekarang saya bahkan menginjakkan kaki di halamannya dan masuk ke dalam. Saya menyempatkan diri berdoa di dalamnya, memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Esa,” kata La Dalisa. “Saat di Museum Fatahillah, saya teringat saat masih duduk di bangku sekolah dan belajar sejarah tentang perjuangan Fatahillah pada saat masa penjajahan. Sekarang saya bisa menyaksikan secara langsung kota perjuangan Fatahillah disertai bukti fisik perjuangan beliau serta peninggalannya,” tambahnya.

Selain itu, La Dalisa pun mendapat kesempatan untuk mengikuti Upacara Kemerdekaan 17 Agustus di Istana Negara. Sebuah kesempatan langka yang membuatnya takkan pernah melupakan pengalaman yang sangat berharga ini. “Sebelum berangkat untuk upacara, malamnya saya sampai tak bisa tidur memikirkan mau pergi upacara. Saya tidak habis bayangkan selama hidup saya, jangankan mau mengikuti secara langsung, melihat di televisi saja jarang karena keterbatasan informasi dan teknologi. Tapi sekarang saya bisa menyaksikannya secara langsung, sampai air mata saya berlinang saat dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Saya mengingat masa lalu saya yang sangat ketinggalan karena hidup di daerah yang terpencil…” ujar La Dalisa.


Dalam hati, La Dalisa mengucap doa dan harapan, semoga anak-anak didiknya nanti mendapat kesempatan untuk menjadi orang besar dan memajukan negeri Indonesia. ***



Ditulis tahun : 2013
Diterbitkan di Buku Profil Gurdasus Tingkat Nasional 2013 (Kemendikbud)

No comments:

Post a Comment