Upaya Peningkatan GTK di Tanah Papua
Seiring dengan Program Nawacita
yang diusung oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo, salah satu wilayah
Indonesia yang mendapat prioritas pengembangan dalam pembangunan adalah
Provinsi Papua. Provinsi yang terdiri dari 29 kabupaten ini merupakan provinsi
yang sangat kaya dengan sumber daya alam. Dengan luas wilayah sekitar 421.981 km2, jumlah
penduduk yang mendiami provinsi paling timur Indonesia ini hanya sebanyak
sekitar 3,486 juta orang (menurut sensus 2014).
Namun demikian, penduduk di tanah Papua mendiami
wilayah-wilayah terpencar, terdiri dari berbagai macam suku asli maupun para
pendatang yang semakin hari semakin banyak. Letak topografi Papua pun berbeda
dengan wilayah-wilayah bagian lain Indonesia. Lebih dari 71% wilayah Papua
merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus karena terdiri atas
lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, bahkan sebagian pegunungan
tersebut diliputi oleh salju. Untuk
bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya acapkali bahkan harus menggunakan
helikopter dengan ongkos jutaan. Tak heran jika ini pun mempengaruhi
harga-harga yang berlaku di wilayah tersebut, misalnya semen yang dibanderol
satu juta rupiah – karena untuk membelinya di kota, harus menggunakan pesawat
helikopter.
Kondisi topografi yang demikian merupakan tantangan bagi Pemerintah
dalam mewujudkan pembangunan Papua secara merata. Oleh karena itu, fokus
Pemerintah dalam pembangunan Papua antara lain penyediaan infrastruktur yang
memadai dan ketersediaan layanan pendidikan yang baik bagi masyarakat Papua.
Gubernur Papua, Lukas Enembe, pun memiliki antusiasme untuk meningkatkan
pembangunan Provinsi Papua secara masif dan lebih cepat. Oleh karena itu, ia
pun mengusung Program ‘Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan Seluruh
Rakyat Papua’ atau disingkat GERBANGMAS HASRAT PAPUA.
GERBANGMAS HASRAT PAPUA
Program GERBANGMAS HASRAT PAPUA ini bertujuan untuk mengembalikan sentra
pembangunan daerah ke tingkat kampung dan distrik di Papua, karena kampung dan
distrik adalah basis masyarakat yang sesungguhnya. Dengan demikian, hasil-hasil
pembangunan pun akan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Papua
sesuai dengan konteks lokal serta kebutuhan ril masyarakat.
Salah satu misi yang diangkat dalam program GERBANGMAS HASRAT PAPUA ini
antara lain menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun secara tuntas dan menyeluruh
di wilayah Papua. Program yang dilaksanakan yaitu Pendidikan Layanan
Khusus, yang terdiri dari; Pertama, Kelas Calistung, yaitu SD Kecil, SD Kecil
Terintegrasi dan Guru Kunjung. Kedua, SD-SMP Satu Atap, yaitu siswa yang telah
lulus Baca Tulis Hitung dari 3 – 5 unit SD Kecil dan Guru Kunjung akan
melanjutkan pendidikan di SD-SMP Satu Atap dari 3 – 5 unit di sekitarnya. SD-SMP
Satu Atap ini berkedudukan di distrik, yakni sekolah berasrama yang
menyelenggarakan pendidikan menengah plus keterampilan hidup untuk memberikan
bekal bagi siswa untuk mandiri di masyarakat.
Program Wajib Belajar 9 Tahun dan
Tuntas Buta Aksara ini sangat perlu
diprioritaskan karena sejauh ini, angka melek huruf Provinsi Papua masihlah
menjadi yang paling rendah dari seluruh Provinsi di Indonesia. Pada tahun
2007-2008, tingkat melek huruf di Papua sebesar 75,41% , pada tahun 2009
sebesar 75,58%, pada tahun 2010 sebsar 75,60%, dan pada tahun 2011 menjadi
75,81%. Namun pada tahun 2016, angka buta huruf di Papua hanya tinggal 28,61
persen saja, yang tersebar di 14
kabupaten wilayah pegunungan. Kepala
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua, Elias Wonda menyebutkan, 14
kabupaten ini merupakan hasil pemekaran baru yang memiliki kinerja kurang dari
setengah rata-rata angka melek huruf di Papua.
Beberapa kabupaten yang sudah tergolong cukup maju antara lain Jayapura,
Merauke, Biak, dan Yapen. Sedangkan kabupaten yang masih memerlukan banyak
sentuhan perbaikan antara lain Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan jaya, Kabupaten
Puncak Jaya. Terutama kabupaten yang merupakan daerah pemekaran dan sangat
sulit dijangkau. Di kabupaten-kabupaten yang memiliki nilai kemajuan pendidikan
yang rendah ini rata-rata masih berjibaku dengan tantangan menuntaskan program
wajib belajar 9 tahun. Banyak faktor yang menjadi kendala, antara lain penyediaan
layanan akses pendidikan yang belum memberikan hasil dan menyentuh langsung kebutuhan
dasar di bidang pendidikan, faktor sosial budaya akibat kondisi
isolasi-geografis,dan kondisi ekonomi penduduknya.
Untuk mendukung percepatan
kemajuan di bidang pendidikan, Pemerintah Provinsi Papua telah mengerahkan
berbagai upaya, salah satunya adalah dengan memberikan 80% ABPD Provinsi Papua untuk dana otonomi khusus yang yang
langsung disalurkan ke kabupaten/kota. Di masing-masing kabupaten, dana
tersebut dibagi, antara lain 30% untuk pendidikan. Dana 30% tersebut
didistribusikan untuk antara lain 5% untuk Paud Dikmas, 10% untuk
pemberantasan buta aksara, 5% untuk jenjang SMP/SMA/SMK, dan 5% untuk jenjang
SD.
Hingga saat ini, jumlah sekolah
yang terbangun di Provinsi Papua menunjukkan penambahan yang cukup pesat dari
tahun-tahun sebelumnya. Menurut data dari Dinas Pendidikan Provinsi Papua, jumlah
Sd/Satap/SDLB sebanyak 2398 buah, jumlah SMP/SMPLB sebanyak 598, dan jumlah SMA/SMK
sebanyak 330 buah. Sedangnya untuk jumlah guru SD sebanyak 16.765 orang, jumlah
guru SMP sebanyak 7.314 orang, dan jumlah guru SMA/SMK sebanyak 2.499 orang.
Di samping itu, Pemerintah daerah
juga berupaya untuk meningkatkan jalinan kerjasama dengan para penyelenggara
pendidikan di Papua. Di tanah Papua, hampir sebagian besar penyelenggara
pendidikan (terutama sekolah swasta) adalah yayasan pendidikan yang berbasis
agama.
Yayasan Pendidikan Berbasis Agama
Kehadiran yayasan pendidikan yang
berbasis agama di tanah Papua sudah lama berjasa dalam pencerdasan warga.
Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS), dan Yayasan
Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) hanyalah tiga dari yayasan yang
berdiri sejak tahun 1960an dan 1970an. Organisasi nirlaba ini memberikan
layanan melalui unit-unitnya hingga ke sekolah dan komunitas baik di kota
maupun di daerah pedalaman. YPK misalnya, mengelola 533 sekolah di Papua dan
201 sekolah di Papua Barat, sekitar 75% sekolah-sekolah berada di daerah
pedalaman. Sekitar 90% murid di YPK, YPPK, dan YAPIS adalah penduduk asli
Papua.
Di Papua, tiap yayasan pendidikan
didukung oleh lembaga agama tertentu. YAPIS didukung oleh lembaga Islam,
Yayasan Pendidikan Advent (YPA) didukung oleh Gereja Advent, YPK didukung oleh
Gereja Kristen Indonesia, dan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja
Injil (YPPGI) didukung oleh lima gereja Kristen Protestan, dan Yayasan
Pendidikan dan Pesekolahan Katolik(YPPK) didukung oleh Gereja Katolik Roma.
Lima kelompok agama ini dan yayasan mereka mendominasi pendidikan swasta di
Papua. Meski bukan hanya mereka yang beroperasi di Papua, yayasan persekolahan
tersebut mencakupi lebih dari 95% sekolah di daerah pedalaman. Dan UU Utonomi
Khusus Papua No. 21/2001 secara khusus mengakomodir 5 yayasan ini sebagai mitra
utama dalam menyediakan layanan swasta di Papua.
Meski demikian, mutu yayasan
persekolahan bergantung tidak saja pada sarana prasarana dan fasilitas sekolah
yang mereka miliki, tapi yang paling pokok adalah mutu guru-guru. Hampir semua
guru di yayasan besar berbasis agama ini adalah guru yang diperbantukan oleh Pemerintah,
dan salah satu kelemahan utama yang seringkali yayasan keluhkan adalah mengenai
kualitas guru-gurunya.
Namun begitu, terutama di
wilayah-wilayah pedalaman atau yang sulit dijangkau, sekolah-sekolah masih
banyak yang mengalami masalah kekurangan guru. Sebagai contoh, masih ditemukan
sekolah dasar, dimana hanya ada 1 atau 2 orang guru yang mengajar. Kekurangan
tenaga guru ini tentu berpengaruh pada tingkat kualitas siswa yang dihasilkan,
termasuk motivasi mereka untuk menyelesaikan pendidikannya.
Salah satu upaya Pemerintah
Provinsi Papua untuk menyelesaikan problema ketersediaan guru di Papua,
terutama di wilayah-wilayah terpencil adalah dengan membangun sebuah institusi
pendidikan yang menyiapkan tenaga guru untuk sekolah-sekolah di Papua, utamanya
yang terletak di wilayah-wilayah pedalaman.
Kolese Pendidikan Guru (KPG) Khas Papua
Kolese Pendidikan Guru (KPG)
adalah sebuah institusi yang hanya terdapat di Papua. KPG didirikan karena
Papua termasuk daerah yang unik secara demografis, geografis, sosial dan
budaya. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh pemerintah daerah Provinsi Papua dan
Papua Barat pada tahun 2006 untuk mengatasi minimnya pendidikan dan pelatihan
guru di Papua serta memenuhi permintaan atas guru dan administrator pendidikan
di Papua. KPG menerima lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). KPG adalah
sekolah menengah atas yang terintegrasi atau sekolah satu atap, dimana
pendidikan SMA 3 tahun digabungkan dengan program persiapan pendidikan guru
selama 2 tahun. Ini dilakukan untuk mempersiapkan siswa untuk program diploma
D-2 dalam bidang pendidikan dasar (UPP PS D2 PGSD), dimana Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cenderawasih (UNCEN) berwenang sebagai penanggung
jawab penyelenggaraan program D-2 PGSD.
KPG bertujuan untuk menghasilkan
lulusan guru SD profesional, terutama dari masyarakat asli Papua, sehingga
mereka dapat dengan mudah beradaptasi pada komunitas yang memiliki karakter,
budaya lokal, dan alam yang unik, terutama di pedesaan dan daerah terpencil
Papua yang sangat membutuhkan guru. Pemerintah Provinsi Papua awalnya
mendirikan KPG sebagai bagian dari program pengembangan pendidikan strategis
yang ditujukan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan andal untuk
masa depan Papua. Terdapat 4 (empat) KPG di Papua, yakni KPG Nabire, KPG
Mimika, KPG Merauke, dan KPG Sorong (Papua Barat). KPG menjadi pilihan utama
siswa yang ingin menjadi guru atau pendidik. Pemerintah Papua dan Papua Barat
mengeluarkan biaya sebanyak 10 – 15 juta rupiah untuk biaya sekolah setiap
siswa. Jangka waktu belajar di KPG adalah 5 tahun, dimana 3 tahun untuk pendidikan
menengah atas, dan 2 tahun untuk pendidikan diploma.
Namun demikian, meskipun
kebutuhan akan guru di beberapa Kabupaten di Papua cukup tinggi, hanya sejumlah
kecil lulusan KPG yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Menurut data dai
Universitas Cenderawasih, Di Provinsi Papua, sekitar 93,3% alumni KPG yang
telah menjadi guru. Akan tetapi, sebagian besar di antaranya (lebih dari 45%)
tetap menjadi guru honorer dan hampir 18% menjadi guru kontrak.
Saat kunjungannya ke Kabupaten
Merauke pada Oktober lalu, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy telah meminta Gubernur Papua Lukas
Enembe untuk memprioritaskan pegangkatan lulusan Kolose Pendidikan Guru (KPG)
Khas Merauke di Papua sebagai tenaga pengajar. "Soal pengangkatan itu
otoritas KemenPAN-RB, karena itu pandai-pandai saja Kadisdik melobi gubernur
supaya bisa meyakinkan Menpan untuk ada pengangkatan secara reguler lulusan
dari KPG ini," kata Mendikbud.
Menurut Mendikbud, siswa KPG yang sudah dibekali keterampilan terkait
masalah keguruan itu akan percuma jika setelah lulus tidak diberdayakan sebagai
bagian dari tenaga pengajar untuk pengembangan pendidikan di Papua. Ia pun
menambahkan bahwa Kemdikbud siap memfasilitasi pengembangan sumber daya manusia
KPG ke luar Papua melalui pelatihan-pelatihan, misalnya di daerah sekitar Jawa.
“Kita mesti kirim mereka ke Jawa 3 - 6 bulan. Kalau ada anggaran di Ditjen GTK,
saya minta ini diprioritaskan. Mengajarnya di luar, biar dunianya terbuka, dan
supaya mengajar murid-muridnya juga bisa lebih bagus," tambahnya. Ia pun
berpesan supaya sekolah tetap mengedepankan pendidikan karakter, terutama
bagaimana menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air.
Kualifikasi Melalui Program
PPKHB
Sementara itu, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud,
Sumarna Surapranata mengatakan bahwa pihaknya bersama Pemerintah Kabupaten
Merauke akan memberikan bantuan peningkatan kualifikasi kepada sekitar 1.000
guru. “Untuk meningkatkan kualifikasi guru di Kabupaten Merauke, Kemendikbud
akan memberikan bantuan kepada sekitar 1.000 orang guru yang ingin melanjutkan
pendidikan ke S-1 di Kabupaten Merauke," ujarnya.
Ia menjelaskan, untuk melanjutkan pendidikan ke S-1, guru dapat menempuh
program Penggalian Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). Ini merujuk pada
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 58 tahun 2008,
tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S1) Kependidikan Bagi Guru Dalam
Jabatan. Dalam Pasal 5 ayat 7 dinyatakan bahwa, perguruan tinggi dapat
memberikan pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar yang pernah
diperoleh sebelumnya, baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal.
Hal tersebut dimaksudkan sebagai pengurang beban studi yang harus
ditempuh. “Dengan program PPKHB, guru yang melanjutkan pendidikan S-1 dapat
ditempuh lebih singkat, karena hanya berkewajiban menempuh sekitar 33% dari SKS
yang semestinya. Program ini juga dapat dilakukan secara tatap muka maupun
jarak jauh,” kata Sumarna.
Dia menambahkan, guru di Kabupaten Merauke dapat melanjutkan pendidikan
S-1 ke dalam empat kelompok, yakni Universitas Cenderawasih, Universitas
Terbuka, Universitas Musamus, dan Kelompok Kerja yang programnya dilaksanakan
di Merauke dengan mekanisme PPKHB. “Guru yang melanjutkan studi S-1 wajib
mendapatkan izin dari kepala dinas pendidikan setempat, dan tidak diperkenankan
meninggalkan tugas,” ungkapnya.
Merujuk pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), kualifikasi guru di
Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, yang belum Strata 1 (S-1) pada jenjang Taman
Kanak-kanak (TK) sebanyak 192 guru, Sekolah Dasar 983 guru, Sekolah Luar Biasa
(SLB) 9 guru, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 164 guru, Sekolah Menengah Atas
(SMA) 47 guru, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 52 guru.
Kurikulum Bahasa Ibu
Salah satu tantangan dalam
pengadaan pembelajaran di Papua adalah aspek bahasa. Papua memiliki kondisi
bahasa yang amat kompleks, dimana terdapat 275 bahasa daerah. Ini merupakan
tantangan tersendiri yang dihadapi oleh banyak guru lulusan KPG di Papua dan
Papua Barat, karena tak semua murid mengerti dengan bahasa nasional yang
menjadi bahasa pengantar. Namun demikian, masalah bahasa pengantar ini telah
diantisipasi oleh Peraturan Khusus Gubernur Papua tentang pendidikan di
pedesaan dan daerah terpencil Papua: “Jika Bahasa Indonesia tidak dapat digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam melaksanakan pendidikan, maka bahasa daerah
dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar”.
Para guru di Papua harus dilatih
untuk menghargai pentingnya menggunakan bahasa daerah, khususnya di kelas awal,
dan mengembangkan kepekaan rasa hormat terhadap kekayaan dan keragaman bahasa
di Papua. Pemahaman tentang bahasa-bahasa daerah itu sangat penting dalam
meningkatkan interaksi di kelas dan di masyarakat setempat. Menurut para guru
lulusan KPG, bahasa yang digunakan di kelas adalah kombinasi yang alami antara
bahasa Indonesia dan dialek setempat.
Salah satu lembaga yang mengusung
program pendidikan multi bahasa berbasis bahasa ibu adalah ACDP (Analytical and Capacity Development
Partnership), sebuah lembaga yang dikelola oleh Bank Dunia bekerjasama
dengan Kemdikbud. Drs. Muhammad Yusuf, MM., Program Coordinator untuk sektor
pendidikan khusus wilayah Papua mengatakan program Pendidikan Multi-Bahasa
Berbasis Bahasa Ibu (PMB-BBI) terfokus pada bagaimana supaya bahasa ibu atau
bahasa daerah, terutama di Papua, dapat digunakan sebagai media pembelajaran
untuk memperbaiki kinerja siswa, terutama siswa di kelas awal yang masih akrab
dengan penggunaan bahasa ibu.
“Kami bersama dengan Summer
Institute of Linguistic (SIL) berupaya untuk mengakselerasi kemampuan membaca
dan menulis anak papua melalui model kurikulum bahasa ibu. Tahun ini kita
membuat model di Kecamatan Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, dan tahun depan akan
diperluas hingga ke lima kabupaten, antara lain Kabupaten Merauke untuk bahasa
Marin, Kabupaten Jayapura untuk bahasa Sentani, Kabupaten Daiyai untuk bahasa Mey,
Kabupaten Waropen untuk bahasa Waropen, dan Kabupaten Mimika untuk bahasa Komoro,”
terangnya.
Yusuf mengatakan bahwa dalam
pembangunan pendidikan di Papua itu seyoganya harus memenuhi kebutuhan
masyararatnya. Para guru yang ditugaskan pun sebaiknya memahami bahasa ibu
masing-masing tempat yang ditinggalinya, juga memahami adat istiadat dan
kebiasaan setempat.
Di Papua, LPTK-LPTK lokal atau KPG
sebenarnya menjadi lembaga yang benar-benar diharapkan dapat melahirkan
guru-guru yang lebih memahami masyarakat adat dimana mereka akan diterjunkan
untuk mengajar. “KPG ini harus diperkuat untuk menjadi institusi pencetak guru
di daerah terpencil. Oleh karena itu, siswa di sana harus diberi arahan
bagaimana mencetak kurikulum yang sesuai dengan daerah, diberi karakter supaya
mereka mencintai, menyayangi dan mengasihi sesamanya, khususnya anak-anak di
daerah terpencil terisolasi. Baik itu guru-guru lulusan KPG, apalagi guru-guru
yang didatangkan dari luar Papua, mereka harus ditraining terlebih dahulu,
diperkenalkan terlebih dahulu pada etnografi Papua, setelah itu baru kita
belajar dari sekolah-sekolah model yang ada di Papua, sebelum mereka
benar-benar terjun untuk mengajar,” terangnya.
Sekolah Berasrama
Salah satu upaya lainnya yang
sedang digalakkan Pemerintah Provinsi Papua adalah pembangunan sekolah
berasrama atau sekolah yang terintegrasi. Dengan model sekolah terintegrasi,
diharapkan dapat memudahkan masyarakat Papua dalam menjangkau akses pendidikan.
Salah satu contoh sukses sekolah
satu atap (satap)/terintegrasi adalah Satap Wasur, yang ada di Kabupaten
Merauke. Sekolah Satap yang dipimpin dan dikelola oleh Sergius Womsiwor, S.Pd.
ini mengintegrasikan pendidikan formal dan pendidikan nonformal dalam satu
atap, pun menyediakan fasilitas asrama bagi para siswa. Model sekolah satap
yang dikelola oleh Sergius ini terbukti sukses, sehingga ia pun sempat
memperoleh penghargaan dari Mendikbud. Bahkan Saat lawatan ke Papua Oktober
lalu, Mendikbud pun menyempatkan diri untuk mengunjungi Satap Wasur.
Dalam kunjungannya, Mendikbud
juga telah berjanji akan membangun sekolah berpola asrama di pedalaman Papua,
supaya guru dan murid dipusatkan dalam satu tempat. “Tahun 2017 kita
prioritaskan sekolah asrama dan perumahan guru supaya siswa tidak pergi pulang
jauh-jauh. Daripada kita bangun sekolah banyak-banyak tetapi tidak efisien,”
katanya. Sekolah model yang serupa Satap Wasur sedang dibangun di Boven Digul.
Dengan adanya pembangunan yang
intensif, kerjasama berbagai pihak, dan komitmen untuk memajukan bangsa,
Provinsi Papua optimis bahwa ke depan akan menjadi semakin baik dengan kualitas
pendidikan yang mampu menghasilkan generasi hebat dan berdaya saing. ***
Ditulis tahun : 2016
Diterbitkan di Majalah Guru (Kemendikbud)
No comments:
Post a Comment