Bahkan
hingga saat ini, salah satu kendala yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan
Indonesia adalah tingkat kualifikasi akademik para guru yang belum memenuhi
standard yang ditetapkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dimana
guru harus berkualifikasi minimal S-1 atau D-4. Sumarna Surapranata, Ph.D.,
Direktur Jenderal Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan menegaskan bahwa guru
menempati posisi strategis lantaran mereka merupakan “jantung” dari
penyelenggaraan pendidikan bermutu. Namun jika mutu guru tidak berkualitas,
maka output yang dihasilkan pendidikan pun juga tidak berkualitas.
Di
sisi lain, tingkat kualitas guru berbanding lurus dengan tingkat kualifikasi
akademiknya. Hal ini dapat dilihat dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), dimana
guru yang memiliki kualifikasi akademik tinggi cenderung memperoleh hasil UKG
yang baik pula.
Namun
Indonesia yang sudah merdeka selama 70 tahun ini masih menyisakan beberapa PR
(pekerjaan rumah) di bidang pendidikan, antara lain kualifikasi akademik
guru-gurunya yang masih rendah. Sekitar tiga juta guru yang tersebar di
Indonesia dan saban hari mendidik para generasi penerus bangsa, ternyata masih
tak seluruhnya adalah sarjana. Ironisnya, nyaris sebagian besar dari guru-guru
yang belum berkualifikasi akademik S-1 atau D-4 adalah guru pendidikan dasar.
Kualifikasi
Akademik dalam Perjalanan Sejarah
Bukan
tanpa sebab jika sebagian besar guru di negeri ini memiliki tingkat kualifikasi
akademik yang rendah. Hasil yang didapat saat ini tak lepas dari imbas
perjalanan sejarah silam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Sejak
Indonesia merdeka, para pendiri bangsa menyadari bahwa pendidikan adalah obor
pembangunan dan kemajuan bangsa. Oleh karena itu, urgensi bangsa yang telah
selama beberapa dekade merasakan penjajahan adalah segera melakukan percepatan
dalam membangun pendidikan. Terlebih pada saat itu sekitar 97% penduduk
Indonesia masih buta aksara. Didasari atas hal itu pulalah maka kalimat
“mencerdaskan kehidupan bangsa” disisipkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan juga
sekaligus menjadi tujuan pembangunan nasional.
Berbagai
program dan gebrakan dilakukan Pemerintah dalam rangka ‘mencerdaskan bangsa’.
Salah satunya, pada tahun 1947, mendirikan Sekolah Guru Bantu (SGB) untuk
memenuhi kebutuhan guru yang dirasa mendesak. SGB merupakan penggabungan dari
Sekolah Guru Laki-laki (SGL) atau Danshi
Shihan Gakko (sekolah bentukan Jepang) dan Sekolah Guru Perempuan (SGP)
atau Zyooshi Shihan Gakko (sekolah
bentukan Jepang). Masa pendidikan SGB adalah empat tahun setelah Sekolah Rakyat
(SR), dimana pendidikan empat tahun tersebut sama dengan tiga tahun pelajaran
umum di SMP, ditambah satu tahun pelajaran kejuruan.
Ada
pula SGA, atau disebut juga Sekolah Guru Atas, yang merupakan pengganti Sekolah
Guru Tinggi (SGT) atau Koto Shihan Gakko
(bentukan Jepang). Mereka yang dapat bersekolah di SGA adalah para pemegang
ijazah SMP Negeri, tamatan SGB Negeri, atau murid SGB kelas III yang naik ke
kelas IV. Lama pelajaran untuk jenjang SGA adalah tiga tahun. Sedangkan Sekolah
Guru C (SGC) masa pendidikannya dua tahun setelah tamat SR. Namun
keberlangsungan SGC hanya berjalan kurang lebih 1,5 tahun karena tidak mendapat
dukungan dari masyarakat. Bahkan beberapa dari sekolah-sekolah tersebut diubah
menjadi SGB. Nantinya, lulusan SGB dan SGA tersebut diproyeksikan untuk menjadi
guru SR. Beberapa lulusan SGA juga dipersiapkan untuk menjadi guru SMP,
terutama di luar Jawa.
Namun
demikian, kebijakan politik terhadap pendidikan pada tahun 1945 – 1950 dirasa
belum sesuai harapan karena berbagai faktor, antara lain faktor sosial,
ekonomi, dan terutama politik. Indonesia masih kekurangan tenaga guru hingga
mencapai 20.816 orang. Apalagi jika seluruh calon murid sekolah rakyat
diterima, maka kekurangan guru bahkan hingga mencapai 168.000 orang.
Untuk
mengatasi tantangan tersebut, Pemerintah pun menempuh dua jalan yaitu
memperbanyak jumlah SGB dan merekrut tenaga guru yang belum mempunyai wewenang
untuk mengajar (pada umumnya lepasan SR 6 tahun). Selain itu, Pada tahun 1952, Pemerintah
juga membuka kursus-kursus guru untuk memperbaiki mutu guru-guru SD yang belum
memiliki ijazah SGB tersebut. Kursus-kursus tersebut antara lain Kursus Lisan
Persamaan SGB (KLPSGB), Rukun Belajar Kursus Tertulis Persamaan SGB (atau
disingkat menjadi RBB), dan Kursus Guru B (KGB). Sedangkan untuk memperluas
pengetahuan guru-guru SR yang telah memiliki ijazah SGB dan yang sederajat,
Pemerintah membuka Kursus Lisan Persamaan SGA (KLPSGA), Rukun Belajar Kursus
Tertulis Persamaan SGA (RBA), dan Kursus Guru A (KGA), supaya mereka dapat
mencapai ijazah SGA. Pengadaan guru SR setelah tahun 1954 sepenuhnya diproduksi
oleh SGB dan SGA. Tak heran jika jumlah guru SR pun melonjak berlipat-lipat
dibanding awal kemerdekaan.
Selanjutnya,
pada tahun 1961, seluruh SGB dilebur menjadi SMP dan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), dan sebagian lagi dikembangkan
menjadi SGA. Pada tahun 1964, SGA diubah menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru)
berdasarkan Keputusan Menteri P dan K Nomor 70 Tahun 1964 tanggal 21 Juli 1964.
Praktis, SPG menjadi satu-satunya sekolah yang menghasilkan calon guru SD.
Kebutuhan SD Inpres
Seiring
dengan pergantian tampuk pemerintahan menjelang akhir tahun 1960an, dimana
kemudian Indonesia dinahkodai oleh Pemerintahan Orde Baru, terjadi pula
beberapa perubahan dan lahirnya kebijakan-kebijakan baru, tak terkecuali di
bidang pendidikan. Saat itu prioritas utama Pemerintah Orde Baru dalam
pendidikan adalah memperluas akses bagi anak-anak untuk belajar di sekolah
dasar. Memasuki tahun terakhir Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, 1969/1970 –
1973/1974, perluasan itu semakin masif. Presiden RI waktu itu, H. M. Soeharto,
mengeluarkan Instruksi Presiden tentang program bantuan pembangunan sekolah
dasar. Berkat instruksi tersebut, sebanyak 6.000 SD baru yang tersebar di
seluruh Indonesia dibangun, yang kemudian dikenal dengan sebutan SD Inpres.
Dengan
digulirkannya proyek SD Inpres pada tahun 1973, Pemerintah juga mengangkat guru
SD secara besar-besaran, yang kemudian dikenal dengan guru Inpres. Pengangkatan
guru SD secara massal itu dimaksudkan untuk memenuhi kekurangan guru yang sudah
muncul sejak awal Pelita I, dan semakin bertambah besar setelah dimulainya
proyek SD Inpres. Pengangkatan guru Inpres paling banyak terjadi pada tahun 1980/1981, 1981/1982, dan 1985/1986 yang masing-masing 103.350, 121.100, dan
141.324 guru baru.
Mulai tahun 1987, pengangkatan guru baru menurun drastis
jumlahnya. Setiap tahun, kran penerimaan guru baru hanya berkisar antara 4.000 -
21.000 orang. Banyak guru SD Inpres diangkat dengan latar belakang pendidikan
yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan. Lembaga Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (LPTK) sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan guru sebanyak itu. Saat
itu, kemampuan LPTK mencetak guru baru hanya sekitar 17.000 guru setiap tahun.
Tak
pelak, Keberadaan SPG menjadi tumpuan paling besar dalam mencetak guru dalam
jumlah besar-besaran untuk menyukseskan program SD Inpres tersebut. Itupun
masih tak benar-benar mencukupi, sehingga banyak pula lulusan SMP, STM, atau
SMA yang diangkat menjadi guru SD dengan hanya berbekal kursus singkat.
SPG
bersama dua jenis sekolah keguruan yang lain, yakni SGO dan SGPLB, terus
bertahan sampai terjadinya alih fungsi SPG/SGO/SGPLB pada tahun 1989, menyusul
diberlakukannya persyaratan kualifikasi minimal D-2 bagi guru SD/SDLB
berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud Nomor 0854/O/1989 tanggal 30 Desember
1989. Program peningkatan kualifikasi akademik ini mulai dilaksanakan pada tahun
1990/1991 atas kerja sama Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan
Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Pelaksanaannya melalui dua sistem, yakni
Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ) dengan Universitas Terbuka (UT) dan sistem
tatap muka yang bekerja sama dengan LPTK, yang meliputi Institut Keguruan Ilmu
Pendidikan (IKIP), Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Sekolah Tinggi
Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) negeri di seluruh Indonesia.
Untuk
menunjang program peningkatan kualifikasi akademik guru SD dengan minimal D-2,
Pemerintah mendirikan Program D-2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang
berada di bawah naungan IKIP. Namun setelah 15 tahun diberlakukan ketentuan
guru SD/SDLB berkualifikasi minimal D-2, yakni pada kurun periode 1989 – 2005, ternyata
masih banyak yang belum berkualifikasi D-2. Dari total 1.250.032 guru SD pada
waktu itu, ternyata masih terdapat 428.918 orang guru yang berkualifikasi
akademik di bawah D-2.
Rendahnya
kualifikasi akademik ini tentu sangat berpengaruh pada mutu dan kualitas
mengajar guru. Bagaimanapun, apa yang dilakukan Pemerintah di masa silam harus
dibayar mahal di masa mendatang karena kemampuan pedagogik guru-guru tersebut
amat lemah. Padahal pembelajaran di SD yang paling penting adalah joyful learning atau PAKEM (Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Namun karena luapan jumlah sekolah
dari proyek SD Inpres, akhirnya mutu guru lah yang dikorbankan.
Perkembangan
Kualifikasi Guru Menengah
Tak
seperti halnya guru SD, perkembangan kualifikasi akademik guru SMP, SMA, dan
SMK tidak mengalami ketimpangan yang tajam. Pada zaman Belanda, persyaratan
menjadi guru MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) atau sekarang SMP adalah lulusan HK (Hollands Inlandse Kweekschool) yang masa pendidikannya tiga tahun
setelah MULO, ditambah kursus-kursus selama 2-3 tahun untuk spesialisasi rumpun
mata pelajaran Bahasa, Eksakta (MIPA), dan
IPS. Dengan kata lain, lama pendidikan calon guru MULO/SMP adalah 8-9 tahun
setelah SR/SD, yakni tiga tahun di MULO, tiga tahun di HIK, dan 2-3 tahun
kursus pendalaman spesialisasi matapelajaran yang disebut Hoofdacte. HIK juga merupakan lembaga pendidikan guru tertua di
Indonesia, yang didirikan pertama kali di Surakarta tahun 1852.
Pada masa pendudukan Jepang, pola pendidikan calon guru
SMP yang diterapkan Belanda tidak mengalami perubahan. Hanya saja, nama HIK diubah
menjadi Kweekschool Neuwe Stijl (KNS)
atau dikenal dengan sebutan Kweekschool
Gaya Baru. Satu-satunya perubahan besar yang dilakukan Jepang adalah
dihapusnya pelajaran bahasa Belanda pada semua jenjang pendidikan, termasuk di
KNS. Sebagai gantinya, diberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
mulai kelas IV SR. Hal ini memberikan keuntungan bagi perkembangan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Pada tahun 1952, pemerintah mendirikan PGSLP (Pendidikan
Guru Sekolah Lanjutan Pertama) sebagai tindak lanjut dari berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1950 jo Undang-Undang Dasar Sementara RI Pasal 42.
Keberadaan PGSLP ini diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Menteri PP dan
K Nomor 3493/Kab, tanggal 19 Januari
1955. Pendirian PGSLP ditujukan untuk secepat mungkin memenuhi kebutuhan guru
SMP pada saat itu. Tugasnya adalah mendidik calon guru SMP dalam waktu singkat,
dimana siswa-siswanya diambil dari tamatan SMA, dan meningkatkan mutu guru SMP
yang masih berpendidikan SGA. Lama pendidikan PGSLP adalah satu tahun. Namun
mulai tahun 1958 diubah menjadi 2 tahun untuk lebih meningkatkan mutu calon
guru SMP.
Pada tahun 1960, pemerintah merencanakan pengintegrasian
PGSLP ke IKIP/FKIP/STKIP yang dilakukan secara bertahap sampai tahun 1965. Kenyataannya,
pengintegrasian itu baru dilakukan tahun 1966, yang kemudian diperkuat dengan
Keppres Nomor 319 Tahun 1968. Proses pengintegrasian PGSLP ke IKIP/FKIP/STKIP
perlu waktu cukup lama, baru selesai pada tahun 1978/1979. Setelah digabung ke
IKIP/FKIP/STKIP, program untuk menghasilkan calon guru SMP itu dikenal dengan
Diploma Dua (D-2). Dalam perkembangannya, kualifikasi guru SMP ditingkatkan
menjadi minimal Diploma Tiga (D-3) yang diberlakukan mulai tahun 1994
berdasarkan Keputusan Mendikbud Nomor 0318/O/1994. Program rintisan kesetaraan
D-3 itu mulai dilakukan sejak tahun 1992/1993.
Sebagaimana pada SD, pelaksanaan penyetaraan D-3 untuk
guru SMP ternyata kurang berjalan mulus. Buktinya, sampai tahun 2005, dari
total 488.206 guru SMP, masih terdapat
112.781 guru SMP yang berijazah di bawah D-3.
Sementara pendidikan guru untuk calon guru SMA pada
periode awal kemerdekaan masih belum terlalu mendapat perhatian. Hal ini wajar
karena SMA saat itu masih menjadi “barang mewah”, karena jumlahnya yang sedikit.
Guru-gurunya adalah lulusan pendidikan guru pada masa Belanda dan Jepang. Untuk
meningkatkan kompetensinya, mereka diminta mengikuti Kursus B-1 dan Kursus B-2,
yang selanjutnya menyandang sebagai “Guru Ahli”. Kursus B-1 dan B-2 berlangsung
sampai tahun 1961, yang selanjutnya dilebur ke FKIP.
Seiring dengan jumlah SMA yang semakin bertambah, Pemerintah
kemudian mendirikan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) pada tahun 1954 di
Malang (Jawa Timur), Bandung (Jawa Barat), dan Batusangkar (Sumatera Barat).
Namun PTPG di Batusangkar tidak terwujud karena timbulnya pemberontakan PRRI. Pada
waktu yang hampir bersamaan, Pemerintah juga mendirikan FKIP (Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan) yang berada di bawah universitas.
Pada tahun 1963, Pemerintah mulai mendirikan IKIP
(Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) di Malang, Bandung, Jakarta,
Yogyakarta, dan Padang. Berikutnya, tahun 1964 - 1965, didirikan pula IKIP
Surabaya, Medan, Semarang, Ujung Pandang, Manado, dan Surakarta. Baik FKIP
maupun IKIP disiapkan untuk mendidik calon guru SMA dan SMP (setelah
diintegrasikannya PGSLP). Pada tahun 1998-2000, IKIP berubah menjadi
universitas. Tugas IKIP/FKIP/STKIP adalah menyiapkan calon guru SMA dan SMP
yang bergelar sarjana sarjana muda, sarjana (S-1), Diploma Tiga (D-3), dan
Diploma Dua (D-2). Dalam perkembangannya, pendidikan sarjana muda kemudian
dihapus.
Karena calon guru SMA sudah lama disiapkan melalui
pendidikan S-1 atau D-3, maka ketika UU Guru dan Dosen diberlakukan pada akhir
2005 yang mensyaratkan kualifikasi guru PAUD sampai dengan SMA minimal S-1 atau
D-4, tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan kualifikasi guru SMA tidak
begitu berat dibanding guru SD dan SMP.
Dari total 383.194 guru SMA/SMK pada tahun 2005, yang sudah
berkualifikasi S-1 atau D-4 sebanyak 310.517 orang.
Mulai dari Subsidi
Hingga PPKHB
Demi
lebih meningkatkan mutu dan kompetensi guru melalui kualifikasi akademik, maka
pada tahun 2005, Pemerintah menerbitkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa syarat kualifikasi akademik
guru mulai dari jenjang PAUD hingga sekolah menengah (SMA/SMK/MA) minimal harus
S-1 atau D-4. Angin surga juga ditiupkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 ini, yang
menjanjikan imbalan tunjangan profesi yang besarnya sama dengan gaji pokok bagi
para guru berijazah S-1 atau D-4 dan yang mengantongi sertifikat profesi.
Pemerintah
melalui Ditjen PMPTK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu telah
menyiapkan rancangan program pelaksanaan subsidi peningkatan kualifikasi guru
untuk kurun waktu 10 tahun (2005 - 2015).
Perencanaan program peningkatan kualifikasi guru disusun berdasarkan
peta latar belakang pendidikan guru, masa kerja sebagai guru, dan
pangkat/golongan guru, sehingga ada skala prioritas siapa saja guru yang akan
mengikuti program peningkatan kualifikasi. Targetnya,
pada tahun 2014, setidaknya guru yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-4 dapat
mencapai 97%.
Dalam
upaya meningkatkan kualifikasi akademik guru, LPTK berperan besar. Tugas LPTK
meliputi asesor sertifikasi, menyelenggarakan program pendidikan sarjana
kependidikan bagi guru dalam jabatan, dan menyelenggarakan pendidikan profesi.
Selain harus meningkatkan kualifikasi guru, LPTK juga dituntut menyediakan
pengganti guru yang sampai tahun 2015 pensiun sebanyak 300.000 orang, yang
170.000 orang di antaranya adalah guru SD. Sampai tahun 2025, akan ada sekitar
1 juta guru yang mau pensiun, kurang
lebih 700.000 di antaranya adalah guru SD.
Salah satu program unggulan yang digalakkan Pemerintah
adalah memberikan subsidi peningkatan kualifikasi akademik kepada para guru
yang belum S-1 atau D-4, yang dititipkan melalui LPMP. Program yang dialokasikan
bagi 170.000 guru setiap tahunnya ini dilaksanakan sejak tahun 2007.
Selain subsidi, Pemerintah pun berupaya untuk memberikan
kemudahan bagi para guru yang akan menempuh program S-1 atau D-4 di LPTK. Para
guru dapat melakukan sistem tatap muka, termediasi, dan belajar mandiri.
Ketentuan ini diatur dalam Permendiknas
Nomor 58 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan
Bagi Guru Dalam Jabatan.
Bagi
guru-guru yang mengajar di kota-kota besar, kegiatan tatap muka bukanlah
menjadi suatu kendala karena perguruan tinggi tempat kuliahnya relatif dekat
dengan sekolah tempat mereka mengajar. Namun hal ini tentu berbeda dengan para
guru yang mengajar di kota-kota kecil, kecuali dengan menggunakan LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang bermitra dengan perguruan tinggi di kota
kecil tersebut, asal ada perguruan tingginya. Misalnya, Universitas Negeri
Jakarta (UNJ) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Kabupaten Lebak, Banten. Dalam
hal ini, Dosen UNJ lah yang datang ke Lebak, Banten. Sistem ini dinamakan
sistem dual mode.
Sedangkan
cara termediasi adalah pembelajaran jarak jauh. Ini bisa dilakukan dengan cara
pendidikan jarak jauh yang dilaksanakan oleh Universitas Terbuka (UT). Selain
itu bisa juga dilakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan ICT (Information
and Communication Technology) bagi guru yang sudah melek teknologi
informasi dan komunikasi.
Namun
nyatanya, di lapangan masih banyak guru-guru yang belum S-1 karena terkendala
beberapa faktor. Dari 3.015.315 guru, sebanyak 27,5% belum sarjana (S-1) atau
D-4. Mereka tersebar di 288 kabupaten/kota. Yang paling banyak di Kabupaten
Nias Utara, yang mencapai sekitar 62%. Jika kualifikasi guru itu dilihat
berdasarkan satuan pendidikan, maka yang presentasenya paling banyak belum
berkualifikasi S-1/D-4 adalah guru pendidikan anak usia dini (PAUD).
Hal
lain yang menghambat kenaikan grafik angka prosentase kualifikasi akademik
adalah adanya penambahan jumlah guru hingga mencapai satu juta guru dalam kurun
waktu 2005 – 2015. Penambahan satu juta guru tersebut merupakan hasil
pengangkatan guru-guru oleh pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang
sebagian besar tanpa memperhatikan kualifikasi akademik guru. Padahal
seharusnya guru yang bersangkutan harus sudah lulus S-1 atau D-4 sebelum
diangkat. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Sumarna
Surapranata, Ph.D mengatakan bahwa fokus Pemerintah terutama adalah menuntaskan kewajiban dalam
hal pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru-guru yang diangkat
sebelum tahun 2005, sesuai UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sedangkan ia juga mengatakan akan mengkaji dan mendalami data penambahan satu
juta guru tersebut.
Namun
seringkali juga guru-guru masih mendapatkan beragam kesulitan untuk memenuhi
tuntutan kualifikasi akademik. Pertama, dikarenakan S-1 yang ditempuh oleh guru
tersebut harus linier dengan mata pelajaran yang diampuhnya. Kedua, tidak boleh
kelas jauh, dan perguruan tingginya pun harus terakreditasi. Ketiga, tidak
boleh meninggalkan kelas atau sekolah. Kesulitan-kesulitan ini terutama
dihadapi bagi para guru yang tinggal di daerah terpencil, terdepan, dan
kepulauan.
Dengan
memperhatikan berbagai kendala yang ada di lapangan dan sekaligus untuk lebih
memudahkan para guru, selanjutnya Pemerintah pun menawarkan program Pengalaman Kerja
dan Hasil Belajar (PPKHB) atau RPL (Recognize Prior Learning), yang
mulai berjalan sejak tanggal 1 September 2009. Dalam program ini, sejumlah
perguruan tinggi diberi mandat untuk menerima guru-guru yang akan meningkatkan
S-1-nya dengan menghargai pengalaman mengajarnya dalam perhitungan angka
kredit. Jika menggunakan cara ini, maka KKG (Kelompok Kerja Guru) dan MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dijadikan sebagai home base. Misalnya,
untuk mendapatkan ijazah S-1 harus menyelesaikan minimal 144 SKS, sedangkan D-2
80 SKS. Maka, bagi guru lulusan D-2 yang mau menyelesaikan S-1 harus menambah
64 SKS. Mengacu pada Permendiknas Nomor 58 Tahun 2008, maka sebanyak 65% dari
64 SKS itu bisa diperoleh melalui belajar mandiri, sedangkan sisanya yang 35%
harus ditempuh melalui tatap muka (dual mode). Dalam belajar mandiri,
modul belajar pun telah dipersiapkan oleh Pemerintah.
Namun
sayangnya program ini tidak berjalan maksimal. Tidak banyak perguruan tinggi
yang bersedia menyelenggarakan PPKHB. Untuk itu, Pemerintah harus terus
mendorong perguruan tinggi agar lebih banyak aktif dalam program PPKHB serta
mendorong pemerintah daerah dan pihak swasta untuk membantu memberikan beasiswa
guru untuk tugas belajar.
Selain
menggulirkan jurus-jurus yang mempermudah peningkatan kualifikasi akademik bagi
guru, Pemerintah juga sangat berharap dukungan pemerintah daerah untuk
meningkatkan kualifikasi akademik para guru. Beberapa pemerintah daerah bahkan
sudah menganggarkan beasiswa peningkatan kualifikasi akademik dengan
menggunakan APBD.***
Ditulis tahun : 2015
Diterbitkan di Profil GTK (Kemendikbud)
No comments:
Post a Comment