Kualifikasi Akademik Guru


Bahkan hingga saat ini, salah satu kendala yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah tingkat kualifikasi akademik para guru yang belum memenuhi standard yang ditetapkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dimana guru harus berkualifikasi minimal S-1 atau D-4. Sumarna Surapranata, Ph.D., Direktur Jenderal Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan menegaskan bahwa guru menempati posisi strategis lantaran mereka merupakan “jantung” dari penyelenggaraan pendidikan bermutu. Namun jika mutu guru tidak berkualitas, maka output yang dihasilkan pendidikan pun juga tidak berkualitas.

Di sisi lain, tingkat kualitas guru berbanding lurus dengan tingkat kualifikasi akademiknya. Hal ini dapat dilihat dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), dimana guru yang memiliki kualifikasi akademik tinggi cenderung memperoleh hasil UKG yang baik pula.

Namun Indonesia yang sudah merdeka selama 70 tahun ini masih menyisakan beberapa PR (pekerjaan rumah) di bidang pendidikan, antara lain kualifikasi akademik guru-gurunya yang masih rendah. Sekitar tiga juta guru yang tersebar di Indonesia dan saban hari mendidik para generasi penerus bangsa, ternyata masih tak seluruhnya adalah sarjana. Ironisnya, nyaris sebagian besar dari guru-guru yang belum berkualifikasi akademik S-1 atau D-4 adalah guru pendidikan dasar.  

Kualifikasi Akademik dalam Perjalanan Sejarah
Bukan tanpa sebab jika sebagian besar guru di negeri ini memiliki tingkat kualifikasi akademik yang rendah. Hasil yang didapat saat ini tak lepas dari imbas perjalanan sejarah silam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa menyadari bahwa pendidikan adalah obor pembangunan dan kemajuan bangsa. Oleh karena itu, urgensi bangsa yang telah selama beberapa dekade merasakan penjajahan adalah segera melakukan percepatan dalam membangun pendidikan. Terlebih pada saat itu sekitar 97% penduduk Indonesia masih buta aksara. Didasari atas hal itu pulalah maka kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” disisipkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan juga sekaligus menjadi tujuan pembangunan nasional.

Berbagai program dan gebrakan dilakukan Pemerintah dalam rangka ‘mencerdaskan bangsa’. Salah satunya, pada tahun 1947, mendirikan Sekolah Guru Bantu (SGB) untuk memenuhi kebutuhan guru yang dirasa mendesak. SGB merupakan penggabungan dari Sekolah Guru Laki-laki (SGL) atau Danshi Shihan Gakko (sekolah bentukan Jepang) dan Sekolah Guru Perempuan (SGP) atau Zyooshi Shihan Gakko (sekolah bentukan Jepang). Masa pendidikan SGB adalah empat tahun setelah Sekolah Rakyat (SR), dimana pendidikan empat tahun tersebut sama dengan tiga tahun pelajaran umum di SMP, ditambah satu tahun pelajaran kejuruan.

Ada pula SGA, atau disebut juga Sekolah Guru Atas, yang merupakan pengganti Sekolah Guru Tinggi (SGT) atau Koto Shihan Gakko (bentukan Jepang). Mereka yang dapat bersekolah di SGA adalah para pemegang ijazah SMP Negeri, tamatan SGB Negeri, atau murid SGB kelas III yang naik ke kelas IV. Lama pelajaran untuk jenjang SGA adalah tiga tahun. Sedangkan Sekolah Guru C (SGC) masa pendidikannya dua tahun setelah tamat SR. Namun keberlangsungan SGC hanya berjalan kurang lebih 1,5 tahun karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Bahkan beberapa dari sekolah-sekolah tersebut diubah menjadi SGB. Nantinya, lulusan SGB dan SGA tersebut diproyeksikan untuk menjadi guru SR. Beberapa lulusan SGA juga dipersiapkan untuk menjadi guru SMP, terutama di luar Jawa.

Namun demikian, kebijakan politik terhadap pendidikan pada tahun 1945 – 1950 dirasa belum sesuai harapan karena berbagai faktor, antara lain faktor sosial, ekonomi, dan terutama politik. Indonesia masih kekurangan tenaga guru hingga mencapai 20.816 orang. Apalagi jika seluruh calon murid sekolah rakyat diterima, maka kekurangan guru bahkan hingga mencapai 168.000 orang.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Pemerintah pun menempuh dua jalan yaitu memperbanyak jumlah SGB dan merekrut tenaga guru yang belum mempunyai wewenang untuk mengajar (pada umumnya lepasan SR 6 tahun). Selain itu, Pada tahun 1952, Pemerintah juga membuka kursus-kursus guru untuk memperbaiki mutu guru-guru SD yang belum memiliki ijazah SGB tersebut. Kursus-kursus tersebut antara lain Kursus Lisan Persamaan SGB (KLPSGB), Rukun Belajar Kursus Tertulis Persamaan SGB (atau disingkat menjadi RBB), dan Kursus Guru B (KGB). Sedangkan untuk memperluas pengetahuan guru-guru SR yang telah memiliki ijazah SGB dan yang sederajat, Pemerintah membuka Kursus Lisan Persamaan SGA (KLPSGA), Rukun Belajar Kursus Tertulis Persamaan SGA (RBA), dan Kursus Guru A (KGA), supaya mereka dapat mencapai ijazah SGA. Pengadaan guru SR setelah tahun 1954 sepenuhnya diproduksi oleh SGB dan SGA. Tak heran jika jumlah guru SR pun melonjak berlipat-lipat dibanding awal kemerdekaan.

Selanjutnya, pada tahun 1961, seluruh SGB dilebur menjadi SMP dan SMEP (Sekolah  Menengah Ekonomi  Pertama), dan sebagian lagi dikembangkan menjadi SGA. Pada tahun 1964, SGA diubah menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) berdasarkan Keputusan Menteri P dan K Nomor 70 Tahun 1964 tanggal 21 Juli 1964. Praktis, SPG menjadi satu-satunya sekolah yang menghasilkan calon guru SD.

Kebutuhan SD Inpres
Seiring dengan pergantian tampuk pemerintahan menjelang akhir tahun 1960an, dimana kemudian Indonesia dinahkodai oleh Pemerintahan Orde Baru, terjadi pula beberapa perubahan dan lahirnya kebijakan-kebijakan baru, tak terkecuali di bidang pendidikan. Saat itu prioritas utama Pemerintah Orde Baru dalam pendidikan adalah memperluas akses bagi anak-anak untuk belajar di sekolah dasar. Memasuki tahun terakhir Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, 1969/1970 – 1973/1974, perluasan itu semakin masif. Presiden RI waktu itu, H. M. Soeharto, mengeluarkan Instruksi Presiden tentang program bantuan pembangunan sekolah dasar. Berkat instruksi tersebut, sebanyak 6.000 SD baru yang tersebar di seluruh Indonesia dibangun, yang kemudian dikenal dengan sebutan SD Inpres.

Dengan digulirkannya proyek SD Inpres pada tahun 1973, Pemerintah juga mengangkat guru SD secara besar-besaran, yang kemudian dikenal dengan guru Inpres. Pengangkatan guru SD secara massal itu dimaksudkan untuk memenuhi kekurangan guru yang sudah muncul sejak awal Pelita I, dan semakin bertambah besar setelah dimulainya proyek SD Inpres. Pengangkatan guru Inpres paling banyak terjadi pada tahun 1980/1981, 1981/1982, dan 1985/1986 yang masing-masing 103.350, 121.100, dan 141.324 guru baru.

Mulai tahun 1987, pengangkatan guru baru menurun drastis jumlahnya. Setiap tahun, kran penerimaan guru baru hanya berkisar antara 4.000 - 21.000 orang. Banyak guru SD Inpres diangkat dengan latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan. Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan guru sebanyak itu. Saat itu, kemampuan LPTK mencetak guru baru hanya sekitar 17.000 guru setiap tahun.

Tak pelak, Keberadaan SPG menjadi tumpuan paling besar dalam mencetak guru dalam jumlah besar-besaran untuk menyukseskan program SD Inpres tersebut. Itupun masih tak benar-benar mencukupi, sehingga banyak pula lulusan SMP, STM, atau SMA yang diangkat menjadi guru SD dengan hanya berbekal kursus singkat. 

SPG bersama dua jenis sekolah keguruan yang lain, yakni SGO dan SGPLB, terus bertahan sampai terjadinya alih fungsi SPG/SGO/SGPLB pada tahun 1989, menyusul diberlakukannya persyaratan kualifikasi minimal D-2 bagi guru SD/SDLB berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud Nomor 0854/O/1989 tanggal 30 Desember 1989. Program peningkatan kualifikasi akademik ini mulai dilaksanakan pada tahun 1990/1991 atas kerja sama Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Pelaksanaannya melalui dua sistem, yakni Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ) dengan Universitas Terbuka (UT) dan sistem tatap muka yang bekerja sama dengan LPTK, yang meliputi Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) negeri di seluruh Indonesia.

Untuk menunjang program peningkatan kualifikasi akademik guru SD dengan minimal D-2, Pemerintah mendirikan Program D-2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang berada di bawah naungan IKIP. Namun setelah 15 tahun diberlakukan ketentuan guru SD/SDLB berkualifikasi minimal D-2, yakni pada kurun periode 1989 – 2005, ternyata masih banyak yang belum berkualifikasi D-2. Dari total 1.250.032 guru SD pada waktu itu, ternyata masih terdapat 428.918 orang guru yang berkualifikasi akademik di bawah D-2.

Rendahnya kualifikasi akademik ini tentu sangat berpengaruh pada mutu dan kualitas mengajar guru. Bagaimanapun, apa yang dilakukan Pemerintah di masa silam harus dibayar mahal di masa mendatang karena kemampuan pedagogik guru-guru tersebut amat lemah. Padahal pembelajaran di SD yang paling penting adalah joyful learning atau PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Namun karena luapan jumlah sekolah dari proyek SD Inpres, akhirnya mutu guru lah yang dikorbankan.

Perkembangan Kualifikasi Guru Menengah
Tak seperti halnya guru SD, perkembangan kualifikasi akademik guru SMP, SMA, dan SMK tidak mengalami ketimpangan yang tajam. Pada zaman Belanda, persyaratan menjadi guru MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekarang SMP adalah lulusan HK (Hollands Inlandse Kweekschool) yang masa pendidikannya tiga tahun setelah MULO, ditambah kursus-kursus selama 2-3 tahun untuk spesialisasi rumpun mata pelajaran Bahasa, Eksakta (MIPA), dan IPS. Dengan kata lain, lama pendidikan calon guru MULO/SMP adalah 8-9 tahun setelah SR/SD, yakni tiga tahun di MULO, tiga tahun di HIK, dan 2-3 tahun kursus pendalaman spesialisasi matapelajaran yang disebut Hoofdacte. HIK juga merupakan lembaga pendidikan guru tertua di Indonesia, yang didirikan pertama kali di Surakarta tahun 1852.

Pada masa pendudukan Jepang, pola pendidikan calon guru SMP yang diterapkan Belanda tidak mengalami perubahan. Hanya saja, nama HIK diubah menjadi Kweekschool Neuwe Stijl (KNS) atau dikenal dengan sebutan Kweekschool Gaya Baru. Satu-satunya perubahan besar yang dilakukan Jepang adalah dihapusnya pelajaran bahasa Belanda pada semua jenjang pendidikan, termasuk di KNS. Sebagai gantinya, diberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar mulai kelas IV SR. Hal ini memberikan keuntungan bagi perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Pada tahun 1952, pemerintah mendirikan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) sebagai tindak lanjut dari berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1950 jo Undang-Undang Dasar Sementara RI Pasal 42. Keberadaan PGSLP ini diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Menteri PP dan K  Nomor 3493/Kab, tanggal 19 Januari 1955. Pendirian PGSLP ditujukan untuk secepat mungkin memenuhi kebutuhan guru SMP pada saat itu. Tugasnya adalah mendidik calon guru SMP dalam waktu singkat, dimana siswa-siswanya diambil dari tamatan SMA, dan meningkatkan mutu guru SMP yang masih berpendidikan SGA. Lama pendidikan PGSLP adalah satu tahun. Namun mulai tahun 1958 diubah menjadi 2 tahun untuk lebih meningkatkan mutu calon guru SMP.

Pada tahun 1960, pemerintah merencanakan pengintegrasian PGSLP ke IKIP/FKIP/STKIP yang dilakukan secara bertahap sampai tahun 1965. Kenyataannya, pengintegrasian itu baru dilakukan tahun 1966, yang kemudian diperkuat dengan Keppres Nomor 319 Tahun 1968. Proses pengintegrasian PGSLP ke IKIP/FKIP/STKIP perlu waktu cukup lama, baru selesai pada tahun 1978/1979. Setelah digabung ke IKIP/FKIP/STKIP, program untuk menghasilkan calon guru SMP itu dikenal dengan Diploma Dua (D-2). Dalam perkembangannya, kualifikasi guru SMP ditingkatkan menjadi minimal Diploma Tiga (D-3) yang diberlakukan mulai tahun 1994 berdasarkan Keputusan Mendikbud Nomor 0318/O/1994. Program rintisan kesetaraan D-3 itu mulai dilakukan sejak tahun 1992/1993.

Sebagaimana pada SD, pelaksanaan penyetaraan D-3 untuk guru SMP ternyata kurang berjalan mulus. Buktinya, sampai tahun 2005, dari total 488.206 guru SMP,  masih terdapat 112.781 guru SMP yang berijazah di bawah D-3.

Sementara pendidikan guru untuk calon guru SMA pada periode awal kemerdekaan masih belum terlalu mendapat perhatian. Hal ini wajar karena SMA saat itu masih menjadi “barang mewah”, karena jumlahnya yang sedikit. Guru-gurunya adalah lulusan pendidikan guru pada masa Belanda dan Jepang. Untuk meningkatkan kompetensinya, mereka diminta mengikuti Kursus B-1 dan Kursus B-2, yang selanjutnya menyandang sebagai “Guru Ahli”. Kursus B-1 dan B-2 berlangsung sampai tahun 1961, yang selanjutnya dilebur ke FKIP.

Seiring dengan jumlah SMA yang semakin bertambah, Pemerintah kemudian mendirikan PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) pada tahun 1954 di Malang (Jawa Timur), Bandung (Jawa Barat), dan Batusangkar (Sumatera Barat). Namun PTPG di Batusangkar tidak terwujud karena timbulnya pemberontakan PRRI. Pada waktu yang hampir bersamaan, Pemerintah juga mendirikan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang berada di bawah universitas.

Pada tahun 1963, Pemerintah mulai mendirikan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) di Malang, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Padang. Berikutnya, tahun 1964 - 1965, didirikan pula IKIP Surabaya, Medan, Semarang, Ujung Pandang, Manado, dan Surakarta. Baik FKIP maupun IKIP disiapkan untuk mendidik calon guru SMA dan SMP (setelah diintegrasikannya PGSLP). Pada tahun 1998-2000, IKIP berubah menjadi universitas. Tugas IKIP/FKIP/STKIP adalah menyiapkan calon guru SMA dan SMP yang bergelar sarjana sarjana muda, sarjana (S-1), Diploma Tiga (D-3), dan Diploma Dua (D-2). Dalam perkembangannya, pendidikan sarjana muda kemudian dihapus.

Karena calon guru SMA sudah lama disiapkan melalui pendidikan S-1 atau D-3, maka ketika UU Guru dan Dosen diberlakukan pada akhir 2005 yang mensyaratkan kualifikasi guru PAUD sampai dengan SMA minimal S-1 atau D-4, tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan kualifikasi guru SMA tidak begitu berat dibanding guru SD dan SMP.  Dari total 383.194 guru SMA/SMK pada tahun 2005, yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-4 sebanyak 310.517 orang.

Mulai dari Subsidi Hingga PPKHB
Demi lebih meningkatkan mutu dan kompetensi guru melalui kualifikasi akademik, maka pada tahun 2005, Pemerintah menerbitkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa syarat kualifikasi akademik guru mulai dari jenjang PAUD hingga sekolah menengah (SMA/SMK/MA) minimal harus S-1 atau D-4. Angin surga juga ditiupkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 ini, yang menjanjikan imbalan tunjangan profesi yang besarnya sama dengan gaji pokok bagi para guru berijazah S-1 atau D-4 dan yang mengantongi sertifikat profesi.

Pemerintah melalui Ditjen PMPTK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu telah menyiapkan rancangan program pelaksanaan subsidi peningkatan kualifikasi guru untuk kurun waktu 10 tahun (2005 - 2015).  Perencanaan program peningkatan kualifikasi guru disusun berdasarkan peta latar belakang pendidikan guru, masa kerja sebagai guru, dan pangkat/golongan guru, sehingga ada skala prioritas siapa saja guru yang akan mengikuti program peningkatan kualifikasi. Targetnya, pada tahun 2014, setidaknya guru yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-4 dapat mencapai 97%.

Dalam upaya meningkatkan kualifikasi akademik guru, LPTK berperan besar. Tugas LPTK meliputi asesor sertifikasi, menyelenggarakan program pendidikan sarjana kependidikan bagi guru dalam jabatan, dan menyelenggarakan pendidikan profesi. Selain harus meningkatkan kualifikasi guru, LPTK juga dituntut menyediakan pengganti guru yang sampai tahun 2015 pensiun sebanyak 300.000 orang, yang 170.000 orang di antaranya adalah guru SD. Sampai tahun 2025, akan ada sekitar 1 juta guru yang mau pensiun,  kurang lebih 700.000 di antaranya adalah guru SD. 

Salah satu program unggulan yang digalakkan Pemerintah adalah memberikan subsidi peningkatan kualifikasi akademik kepada para guru yang belum S-1 atau D-4, yang dititipkan melalui LPMP. Program yang dialokasikan bagi 170.000 guru setiap tahunnya ini dilaksanakan sejak tahun 2007.

Selain subsidi, Pemerintah pun berupaya untuk memberikan kemudahan bagi para guru yang akan menempuh program S-1 atau D-4 di LPTK. Para guru dapat melakukan sistem tatap muka, termediasi, dan belajar mandiri. Ketentuan ini diatur dalam Permendiknas Nomor 58 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S-1) Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan. 

Bagi guru-guru yang mengajar di kota-kota besar, kegiatan tatap muka bukanlah menjadi suatu kendala karena perguruan tinggi tempat kuliahnya relatif dekat dengan sekolah tempat mereka mengajar. Namun hal ini tentu berbeda dengan para guru yang mengajar di kota-kota kecil, kecuali dengan menggunakan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang bermitra dengan perguruan tinggi di kota kecil tersebut, asal ada perguruan tingginya. Misalnya, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Kabupaten Lebak, Banten. Dalam hal ini, Dosen UNJ lah yang datang ke Lebak, Banten. Sistem ini dinamakan sistem dual mode.

Sedangkan cara termediasi adalah pembelajaran jarak jauh. Ini bisa dilakukan dengan cara pendidikan jarak jauh yang dilaksanakan oleh Universitas Terbuka (UT). Selain itu bisa juga dilakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan ICT (Information and Communication Technology) bagi guru yang sudah melek teknologi informasi dan komunikasi.

Namun nyatanya, di lapangan masih banyak guru-guru yang belum S-1 karena terkendala beberapa faktor. Dari 3.015.315 guru, sebanyak 27,5% belum sarjana (S-1) atau D-4. Mereka tersebar di 288 kabupaten/kota. Yang paling banyak di Kabupaten Nias Utara, yang mencapai sekitar 62%. Jika kualifikasi guru itu dilihat berdasarkan satuan pendidikan, maka yang presentasenya paling banyak belum berkualifikasi S-1/D-4 adalah guru pendidikan anak usia dini (PAUD).
  
Hal lain yang menghambat kenaikan grafik angka prosentase kualifikasi akademik adalah adanya penambahan jumlah guru hingga mencapai satu juta guru dalam kurun waktu 2005 – 2015. Penambahan satu juta guru tersebut merupakan hasil pengangkatan guru-guru oleh pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang sebagian besar tanpa memperhatikan kualifikasi akademik guru. Padahal seharusnya guru yang bersangkutan harus sudah lulus S-1 atau D-4 sebelum diangkat. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Sumarna Surapranata, Ph.D mengatakan bahwa fokus Pemerintah  terutama adalah menuntaskan kewajiban dalam hal pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru-guru yang diangkat sebelum tahun 2005, sesuai UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan ia juga mengatakan akan mengkaji dan mendalami data penambahan satu juta guru tersebut.

Namun seringkali juga guru-guru masih mendapatkan beragam kesulitan untuk memenuhi tuntutan kualifikasi akademik. Pertama,  dikarenakan S-1 yang ditempuh oleh guru tersebut harus linier dengan mata pelajaran yang diampuhnya. Kedua, tidak boleh kelas jauh, dan perguruan tingginya pun harus terakreditasi. Ketiga, tidak boleh meninggalkan kelas atau sekolah. Kesulitan-kesulitan ini terutama dihadapi bagi para guru yang tinggal di daerah terpencil, terdepan, dan kepulauan.

Dengan memperhatikan berbagai kendala yang ada di lapangan dan sekaligus untuk lebih memudahkan para guru, selanjutnya Pemerintah pun menawarkan program Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB) atau RPL (Recognize Prior Learning), yang mulai berjalan sejak tanggal 1 September 2009. Dalam program ini, sejumlah perguruan tinggi diberi mandat untuk menerima guru-guru yang akan meningkatkan S-1-nya dengan menghargai pengalaman mengajarnya dalam perhitungan angka kredit. Jika menggunakan cara ini, maka KKG (Kelompok Kerja Guru) dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dijadikan sebagai home base. Misalnya, untuk mendapatkan ijazah S-1 harus menyelesaikan minimal 144 SKS, sedangkan D-2 80 SKS. Maka, bagi guru lulusan D-2 yang mau menyelesaikan S-1 harus menambah 64 SKS. Mengacu pada Permendiknas Nomor 58 Tahun 2008, maka sebanyak 65% dari 64 SKS itu bisa diperoleh melalui belajar mandiri, sedangkan sisanya yang 35% harus ditempuh melalui tatap muka (dual mode). Dalam belajar mandiri, modul belajar pun telah dipersiapkan oleh Pemerintah.

Namun sayangnya program ini tidak berjalan maksimal. Tidak banyak perguruan tinggi yang bersedia menyelenggarakan PPKHB. Untuk itu, Pemerintah harus terus mendorong perguruan tinggi agar lebih banyak aktif dalam program PPKHB serta mendorong pemerintah daerah dan pihak swasta untuk membantu memberikan beasiswa guru untuk tugas belajar.

Selain menggulirkan jurus-jurus yang mempermudah peningkatan kualifikasi akademik bagi guru, Pemerintah juga sangat berharap dukungan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualifikasi akademik para guru. Beberapa pemerintah daerah bahkan sudah menganggarkan beasiswa peningkatan kualifikasi akademik dengan menggunakan APBD.***



Ditulis tahun : 2015
Diterbitkan di Profil GTK (Kemendikbud)

No comments:

Post a Comment