Miftakhul Huda
Profil Keluarga Inspiratif Peneliti Muda di Jepang Asal Indonesia
Di usia 28 tahun, Miftakhul Huda telah mengantongi gelar sarjana,
master, hingga doktornya di negeri Jepang melalui sponsor beasiswa. Pun pernah
meraih predikat sebagai lulusan terbaik, yang mengantarkannya menjadi menjadi
seorang peneliti di Jepang. Kesuksesannya tersebut tak lepas dari andil ayahnya,
buruh batik asal Pekalongan yang tak pernah mengecap pendidikan – dan ibunya, yang
hanya merasakan bangku SD saja.
-------
“Waktu dia kecil, saya pernah
mimpi rumah saya didatangi Gusdur. Beliau duduk di bangku bambu yang ada di
teras rumah kami, mengenakan kaos dan celana pendek. Tapi kemudian saya
langsung terbangun. Mimpi itu benar-benar seperti nyata bagi saya...” kata
Suparno sembari menerawang, mengingat-ingat kejadian yang dialaminya sekitar 21
tahun silam.
Mungkin dulu, sewaktu Suparno
usai bermimpi, ia tak pernah memikirkan kembali apakah mimpi tersebut memiliki
makna atau pesan tertentu baginya. Menurut pengakuannya, ia pun pernah bermimpi
melihat bintang di langit di atas rumahnya yang amat terang benderang. Lintang kemukus, demikian orang Jawa
menyebutnya. Namun kini, setelah mengilas balik, Suparno menebak-nebak,
barangkali mimpi-mimpi tersebut merupakan pertanda yang berubungan dengan anak
sulungnya. Putera pertamanya yang bernama Miftakhul Huda kini menjadi bak bintang
kejora yang bersinar benderang. Sebuah kenyataan yang mungkin sebelumnya tak
pernah disangka-sangkanya.
MiftakhulHuda diapit kedua orangtuanya. |
Tiga puluh tahun lalu, Suparno
yang asli Pekalongan masih berjibaku dengan tumpukan kain yang harus dicap
dengan pola batik di sebuah perusahaan batik, dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore.
Demikian pula Tunas Setiawati, perempuan asli Pekalongan yang amat dicintainya,
yang kemudian melahirkan anak-anaknya. Kesulitan ekonomi sudah menjadi warna
sehari-hari bagi Suparno dan istrinya. Maklum, pendidikannya tak genap. Ia
bahkan tak bisa membaca dan menulis, tak pernah mengecap bantu TK, apalagi SD.
Sedangkan sang istri pun tak jauh berbeda, namun masih sempat merasakan bangku
SD. Oleh karenanya, Suparno yang ulet dan rajin giat bekerja apa saja. Mulai
dari pedagang asongan, tukang becak, hingga buruh batik pun dilakoninya.
Terlebih ketika sang istri
menghadiahinya enam anak. Mau tak mau, Suparno harus banting tulang dari hari
ke hari, hanya supaya istri dan anak-anaknya dapat mengecap sesuap nasi dan
bertahan hidup. Rumah pun tak sanggup ia beli, melainkan hanya menumpang di
rumah orangtua ataupun mengontrak. Namun demikian, diam-diam ia menyelipkan
tekad sekuat baja, bahwa bagaimanapun keadaannya, anak-anaknya harus
bersekolah. Berkaca dari hidupnya sendiri, Suparno benar-benar tak ingin hal
serupa terjadi pada anak-anaknya. “Jangan sampai anak saya merasakan seperti
yang saya rasakan. Meski saya tidak punya biaya, saya tidak akan pernah menyuruh
anak berhenti sekolah. Insyaallah saya yakin biaya pasti ada. Bismillah
saja...” kata pria kelahiran 17 Maret 1959 ini dengan penuh keyakinan.
Si sulung, Miftakhul Huda, lahir
pada 3 April 1986. Mulanya, tak ada yang istimewa dari bocah yang senang
bermain basket ini. Masa kecilnya dilalui seperti anak-anak lainnya, bermain
dan bersekolah. Hanya saja, pembawaannya lebih pendiam, bahkan menurut ibunya lebih
pendiam daripada adik-adiknya. Ia pun cukup penurut, tak pernah menuntut,
seolah paham dengan keadaan. “Sejak
kecil, dia memang suka suka belajar. Bahkan ketika SMA, dia suka belajar di
alam terbuka, misalnya ketika memancing atau ke pantai, dia selalu tak lupa
membawa bukunya,” cerita sang ibu. Tak heran jika sejak kecil, Miftakhul Huda
selalu menyabet ranking pertama di kelasnya dan selalu memenangkan lomba.
Tak ubahnya seperti sang bapak,
semangat dan motivasi Miftakhul Huda untuk bersekolah pun teramat besar. Ia
bahkan getol menyemangati adik-adiknya untuk giat belajar dan sekolah. “Tapi
sejak kecil, Miftakhul Huda memang sudah punya cita-cita ingin sekolah di
tempat jauh, nggak tahu kenapa...” ungkap Suparno. Bagi sosok ayah seperti
Suparno, yang masa kecilnya tak pernah mengenal kasih sayang seorang ayah,
membayangkan anaknya berkeinginan untuk sekolah di tempat yang jauh tak pernah
hinggap dalam benaknya. Bahkan boleh dikata, ia tak pernah memikirkannya. “Sekolah
di mana pun terserah anaknya, saya nggak pernah memaksa anak dalam pilihannya.
Yang penting, mereka sekolah,” tegasnya.
Tekad dan keyakinan Suparno untuk
menyekolahkan semua anak-anaknya memang begitu kuat. Namun kerap kali kenyataan
tak selalu sejalan dengan harapan. Hidup dan keniscayaannya tak henti
memberikan cobaan dan ujian, yang juga tak luput menerpa kehidupan Suparno.
Hari demi hari bergulir dengan roda perjuangan, mengumpulkan rupiah demi rupiah
demi melihat anak-anaknya tetap berseragam sekolah. Dan perjuangan itu semakin
keras tiap kali anak-anaknya hendak masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Apalagi pada waktu itu pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya gratis. Bayangan
harus membayar SPP, membeli buku, seragam, dan sebagainya selalu menjadi momok
baginya. “Biasanya, yang jadi sasaran ya juragan batik saya. Beliau sangat baik
karena sering memberi saya piutang, terutama ketika anak-anak saya masuk ke
sekolah baru,” kata Suparno.
Namun yang paling berat dirasakan
Suparno adalah ketika Miftakhul Huda dinyatakan diterima di Program D-3 STAN
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Rasa bangga memang terselip, namun Suparno
pun kepalang panik. Ia harus menyiapkan sejumlah uang untuk biaya masuk dan
pendaftaran. Belum lagi membayangkan uang untuk hidup sehari-hari putera
sulungnya di perantauan nanti. Kalau dibandingkan dengan kemampuannya, maka
segala tuntutan tersebut sudah benar-benar di luar jangkauannya. “Saya sempat
bingung mau pinjam ke mana. Untunglah ada teman yang mau menolong meminjamkan
uang, dan Alhamdulillah sudah terlunasi pula,” kisahnya.
Namun rupanya Miftakhul Huda
memiliki kejutan yang lain. Menjelang satu tahun ia mengecap pendidikan di STAN
di Tangerang, Banten, tahun 2005 ia diterima di Bunka Institute of Language Japanese Course di negeri Jepang. Demi
menyadari ini adalah kesempatan emas yang tak datang dua kali, Miftakhul Huda
pun memutuskan untuk mengambil beasiswa tersebut. Masa depan yang lebih cerah
telah terbayang di pelupuk matanya. Pada ayahnya, ia berkata akan meninggalkan
STAN dan terbang menuju Jepang.
Dengan langkah mantap, Miftakhul
Huda memulai kehidupan barunya di Jepang. Lulus dari Bunka Institute of Language Japanese Course, tahun 2006 ia
melanjutkan studinya ke program S-1 jurusan Aplikasi Elektronik di Japan Electronic College dengan beasiswa
Jepang hingga tahun 2008. Kemudian ia lintas jurusan, melanjutkan S-1 nya di
Universitas Gunma, Jepang, di jurusan teknik listrik dan elektronik dan lulus
pada tahun 2010. Kelangsungan studi Miftakhul Huda tampak berjalan dengan amat
mulus, karena kemudian ia pun beroleh kesempatan dari beasiswa untuk
melanjutkan program studi S-2 di jurusan
Teknik Sistem Industri Universitas Gunma hingga pada tahun 2012. Cukup dua
tahun saja Miftakhul Huda menyelesaikan S-2 nya. Itupun dengan predikat sebagai
lulusan dengan nilai terbaik. Saat wisuda, ayah dan ibunya didatangkan dari
Indonesia ke Jepang demi melihatnya memakai toga kebanggaan.
Karena prestasinya, usai tamat S-2, Miftakhul Huda beroleh kesempatan
lagi untuk mendapatkan beasiswa S-3 dari Monbusho,
yayasan milik Sanrio Co., Ltd. dan JSPS. Ia mengambil spesialisasi di bidang
nanoteknologi, semikonduktor, sel matahari Universitas Gunma. Tahun 2014, Miftakhul
Huda berhasil mengantongi titel Doktornya.
Saat itu usianya baru menginjak 28 tahun, namun ia sudah merampungkan
studi S-3 nya, pun dengan nilai yang amat memuaskan. Bahkan selama studi, Miftakhul
Huda tak pernah mengeluarkan kocek sendiri, karena kesemuanya ia raih dengan
beasiswa penuh. Setelah tamat kuliah, Miftakhul Huda langsung bekerja sebagai
Postdoctoral di bawah Japan Society for
the Promotion of Science (JSPS). Namun pada tahun 2015, ia pindah bekerja
di NBC Meshtec Inc. yang ternyata hanya sampai tahun 2016. Kini, ia bekerja
sebagai peneliti di Tokyo Institute of Technology program ERATO.
Sebagai peneliti, Miftakhul Huda banyak berkonsentrasi pada penelitian
sel matahari, yakni meneliti proses pembuatan sel matahari generasi ketiga,
generasi terbaru yang menurutnya menjanjikan, namun masih belum menampakkan
hasil yang signifikan sampai saat ini. Sebenarnya ia sudah mulai mengerjakan
penelitian mengenai sel matahari sejak masih duduk di semester 4 di program S-1nya.
Ia sangat tertarik pada sel matahari karena menurutnya matahari adalah salah
satu sumber energi paling banyak di alam semesta dan aman untuk lingkungan.
“Suatu saat nanti Indonesia akan memerlukannya,” kata pria yang senang dengan
menu ikan bakar dan lalapan ini.
Bagaimanapun, keberhasilan studi Miftakhul Huda tentu tak lepas dari
peran keluarga, terutama ayah dan ibunya. Meski ayahnya tak pernah mengecap
pendidikan di sekolah, namun ayah maupun ibunya memiliki kesadaran dan motivasi
tinggi untuk senantiasa mendorong anak-anaknya rajin dan serius dalam mengemban
tugasnya di sekolah. Walhasil, Miftakhul Huda dan adik-adiknya pun memiliki
kesadaran yang amat tinggi tentang pentingnya sekolah. Terbukti, sepanjang
bersekolah, mereka tak pernah sekalipun tidak masuk sekolah. Bahkan meski
merasa sedikit tak enak badan, mereka tetap berangkat ke sekolah. “Saya
katakan pada mereka, selama bersekolah dan selama masih bisa belajar, jangan
pernah rewel. Kecuali memang sudah tidak bisa jalan. Makanya, anak-anak saya
semua seperti itu. Bahkan meskipun hari sedang hujan, mereka tetap berangkat
sekolah atau mengaji,” kata Suparno.
Ia mengaku tak pernah memaksa anak-anaknya untuk harus belajar setiap
hari. Tak pernah pula menghukum dengan kekerasan fisik maupun kata-kata kasar.
Namun ia telah berhasil menanamkan kesadaran yang timbul dalam diri
anak-anaknya sejak dini mengenai pentingnya pendidikan. “Saya tidak
pernah memaksa anak di rumah harus belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, atau
membatasi jam menonton tivi. Anak-anak bebas melakukan apa yang mereka
kehendaki, tapi mereka rupanya sudah memiliki kesadaran tinggi tanpa saya harus
menuruh. Mereka sudah jalan sendiri-sendiri,” katanya. Ia memahami bahwa
masing-masing anak memiliki pola belajar sendiri-sendiri yang sebaiknya tak
usah dipaksakan oleh orangtua. Seperti misalnya Miftakhul Huda, yang lebih
senang belajar jam 02.00 dini hari hingga menjelang pagi. Suparno juga
bercerita, bahwa meskipun di lingkungan sekitarnya sedang mengadakan keramaian
seperti pertunjukan orkes atau pesta 17 Agustusan, anak-anaknya tak pernah
tertarik untuk ikut larut dalam keramaian, melainkan lebih memilih tinggal di
rumah dan belajar. “Padahal saya tidak pernah melarang,” katanya.
Saat ditanya apa kuncinya dalam
melahirkan anak-anak yang sangat pengertian, sang ibu menceritakan bahwa
semenjak kehamilan anak-anaknya, ia sudah gemar melafalkan doa-doa maupun
shalawat nabi. Dan saat ditanya apakah barangkali ada makanan khusus yang
diberikan untuk anak-anaknya, Suparno hanya tertawa lebar. “Tiap pagi mereka
makan nasi Megono (nasi khas Pekalongan), tempe goreng, dan kerupuk,
hahahaa...” ujarnya.
Sebagai orangtua dari kalangan
sederhana, Suparno dan Tunas Setiawati impiannya tak pernah muluk mengharapkan
anak-anaknya meraih kesuksesan setinggi-tingginya, melainkan hanya berusaha
mengarahkan mereka untuk bersemangat dalam pendidikan dan membimbing mereka
menjadi manusia yang sebaik-baiknya. Jika ada salah satu anaknya, misalnya
seperti Miftakhul Huda yang sekarang sudah sukses di negeri Sakura, itu semua
sudah di luar perkiraannya. Yang jelas, Suparno dan Tunas Setiawati menganggap
bonus tersebut sebagai berkah yang sangat disyukurinya.
Meski demikian, kesuksesan
anak-anaknya pun tak lepas dari andil doa orangtua. Demikian pula anak-anak
Suparno dan Tunas Setiawati. Bahkan menurut Tunas, setiap kali hendak
menghadapi ujian atau perlombaan, Miftakhul Huda selalu meminta doa restunya.
Di samping itu, setiap kali anak-anaknya menghadapi ujian atau perlombaan,
Tunas pun selalu menunaikan puasa. Salah satu contohnya ketika Miftakhul hendak
menghadapi ujian demi meraih beasiswa S-3, ia mengatakan pada ibunya, “Doain ya,
Mak, nanti kalau diterima, saya kasih
hadiah,”. Rupanya Tuhan mengabulkan doa ibu dan anak tersebut, sehingga Miftakhul
Huda pun lulus diterima di program S-3. Dan sesuai janjinya, ia pun membelikan
keluarganya sebuah rumah sederhana di daerah Setono (Pekalongan), dekat dengan
masjid, sebagai hadiah. Berkat bantuan dari Miftakhul Huda, keluarga Suparno
pun tak perlu lagi mengontrak rumah, karena kini mereka sudah memiliki rumah
sendiri.
Kini, 11 tahun sudah Miftakhul
Huda berada di Jepang. Ia menetap di Yokohama, salah satu kota di negeri yang
terkenal dengan etos kerja kerasnya ini. Ia merasa cukup betah berada di
Jepang, meski tak ubahnya seperti orang Jepang pada umumnya, ia pun harus
mengikuti etos kerja keras mereka. “Jepang
masih kuat budaya kerja kerasnya, sehingga banyak ayah yang harus lembur sampai
larut malam tiap hari, yang membuat mereka kekurangan waktu untuk berkumpul
dengan keluarga. Tapi kehidupan keluarga Jepang sangat teratur. Hampir semua
kegiatan maupun hiburan tutup sejak jam 10 malam. Anak-anak juga tidak
diperbolehkan menggunakan fasilitas publik tanpa ditemani orang dewasa saat
malam hari. Tapi di hari libur, tempat rekreasi dan hiburan penuh dengan orang
tua yang membawa anak-anaknya berlibur,” kata pria yang senang makan sushi,
tempura, dan suka maen ski saat musim dingin ini. Sekarang, Miftakhul Huda
bahkan telah memboyong istrinya, Anggita Aninditya Prameswari Prabaningrum, wanita kelahiran 17 Oktober 1990 asal Jakarta. Dari buah
perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang puteri yang diberi nama Arsyalesha Sachiko
Prabazunaik, yang lahir di Tokyo
pada
20 November 2015.
Gita, demikian panggilan dari
istri Miftakhul Huda, mengatakan bahwa suaminya adalah sosok pekerja keras, tekun, aktif berorganisasi
dan senang mencari pengalaman, penyayang, serta bertanggung-jawab. Di samping
itu, suaminya pun selalu giat menambah pengalaman
dan kemampuannya melalui konferensi internasional, menulis paper, menjadi pembicara,
dan lain sebagainya. Tak pelak jika Gita demikian kagum pada sosok suaminya.
Di samping itu, ia pun menceritakan awal perkenalannya dengan
sang suami, yakni sekitar tahun 2012 lampau. “Saya berteman dulu di facebook
karena kami punya banyak mutual friends.
Kemudian kami menjalani LDR (long
distance relationship) hingga akhirnya kami menikah di Masjid Agung Sunda
Kelapa, Jakarta, pada 19 Oktober 2014. Saya ikut pindah ke Jepang pada bulan
November 2014,” kisahnya.
Selama berada di Jepang mengikuti
suami, Gita pun tak menyia-nyiakan waktunya begitu saja. Ia sempat mengambil
kuliah di Tokyo International Exchange College. Namun karena kemudian mereka pindah rumah dan juga kesibukan barunya
sebagai ibu, maka Gita pun mengalah untuk lebih mengutamakan mengurus bayinya
di rumah. “Tapi saya berencana untuk melanjutkan studi di kampus bahasa yang
tak jauh dari sini,” kata wanita yang sebelumnya berpengalaman sebagai graphic designer dan copywriter ini.
Meski berada cukup jauh dari keluarga di Indonesia, namun Miftakhul Huda
maupun istrinya tak pernah melupakan keluarga. Berkat kemajuan zaman, rentang
jarak yang bermil-mil jauhnya pun dapat dipersingkat dengan teknologi.
Miftakhul Huda kerap menelpon ayah dan ibunya atau berbicara melalui sambungan
videocall paling tidak seminggu sekali. “Tapi semenjak sudah punya bayi,
sekarang malah lebih sering. Biasanya 2 atau 3 hari sekali menelpon,” kata
Tunas, sang ibu. Sebelum menikah, Miftakhul Huda juga cukup rutin pulang ke
Indonesia, sekitar setahun atau dua tahun sekali. Terlebih jika kebetulan ia
memiliki agenda acara di Indonesia, maka ia pasti sempatkan mampir pulang ke
Pekalongan.
Suparno dan Tunas Setiawati merasa sangat bangga karena putera
sulungnya telah meraih kesuksesan dalam studi dan pekerjaan, pun telah
berkeluarga. Tunas Setiawati sempat berkunjung ke Jepang saat kelahiran cucu
mereka. Ia sangat senang
berkunjung ke Jepang, sebuah negara yang menurut mereka cukup bagus. “Di sana
negaranya disiplin sekali, tapi sangat bersih dan rapi. Anak-anak yang kuliah
disana pakaiannya juga sangat rapi, tidak ada yang pakai kaos oblong,” komentarnya.
Sebagai orangtua, sebenarnya ada
pula keinginan untuk dekat dengan anak-anaknya. Suparno sempat menyelipkan harap, bahwa suatu saat nanti
Miftakhul Huda memiliki kesempatan untuk bekerja di Indonesia. “Meski begitu,
saya tidak akan pernah memaksa anak. Terserah dia mau kerja dimana dan menjadi
apa. Yang penting, mereka harus menjadi pribadi yang jujur dan tak pernah
meninggalkan shalat 5 waktu,” pungkasnya. ***
Ditulis tahun : 2016
Diterbitkan di Majalah Keluarga (Kemendikbud)
No comments:
Post a Comment