Esti Marianti Paus, S.Pd.
Guru Daerah Khusus Sulawesi Utara
Guru Daerah Khusus Sulawesi Utara
Menjadi guru SD dan mengabdi di
kampung halamannya pun harus ditempuhnya dengan penuh perjuangan. Namun Esti
Marianti Paus, S.Pd. adalah sosok wanita tangguh yang tak kenal menyerah demi
menggapai cita-cita yang didambakannya sejak masih duduk di bangku SD. Hingga
pada akhirnya ia pun mendapat kesempatan untuk mengajar di SDN Talise pada
tahun 2003, Esti merasa bahwa itu adalah sebuah pencapaian yang selama ini
diimpikannya. Kendati demikian, pengalaman yang paling manis baginya adalah
ketika diundang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di ajang Penghargaan
PTK Berprestasi dan Berdedikasi Nasional 2014. Ia pun bahkan mendapat
kesempatan bersalaman dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Lahir dari ayah yang seorang
nelayan dan ibu yang hanya bekerja di rumah, Esti terbiasa hidup sangat
sederhana dan mandiri. Bahkan tak jarang keluarganya pun mengalami kesulitan
dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saat pertama kali Esti mengutarakan cita-citanya
ingin menjadi guru, orang tuanya sempat tak setuju. Mereka lebih berharap suatu
saat nanti Esti menjadi seorang dokter. Namun Esti bersiteguh dengan
pendiriannya. Alasan yang dikemukakannya, “Kata guru di sekolah, jika tak ada
guru, maka tidak akan ada dokter, polisi, pengacara, insinyur, dan sebagainya.
Jadi, guru sebenarnya lebih mulia dari pekerjaan apapun,” kata Esti, yang saat
itu masih duduk di bangku SD.
Lulus SMP, Esti sempat terancam
tak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang SMA karena ayahnya mengemukakan
ketidaksanggupan mereka membiayai sekolahnya. Terlebih Esti masih memiliki seorang
adik yang juga butuh melanjutkan pendidikan. Di samping itu, untuk melanjutkan
SMA, Esti pun harus meninggalkan rumah, karena SMA terdekat hanya ada di
Likupang, sehingga ia pun terpaksa harus tinggal di rumah kost. Namun ia tak
mau menyerah dengan keadaan. Esti bersikeras pada ayahnya supaya diizinkan
melanjutkan sekolah ke bangku SMA dan berjanji hendak membiayai sekolahnya
sendiri dengan mencoba mencari pekerjaan sambilan. Terpaksa ayahnya pun
mengizinkannya pergi, melanjutkan sekolah ke SMA di Likupang.
Dengan menumpang perahu motor
tempel 40 pk, Esti pun meninggalkan desa Tambun, tanah kelahirannya, menuju
Likupang, yang berjarak kurang lebih 14 mil laut dari desa tempatnya tinggal.
Di Likupang, Esti tinggal di rumah keluarga salah satu kawan baiknya. “Saya
membantu mengerjakan tugas rumah seperti mencuci pakaian, menyeterika, membantu
memasak. Syukurlah saya tidak dikenakan biaya kost,” tutur wanita kelahiran
Talise, 13 September 1978 ini. Di samping itu, ia pun mencoba sembari berjualan
keripik dan kacang goreng di sekolah demi menambah uang saku dan membayar uang
sekolah.
Lulus SMA, Esti sempat memendam
keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang kuliah, merintis cita-citanya
menjadi seorang guru di desa Tambun, tanah kelahirannya. Lagi-lagi masalah
biaya menjadi batu sandungannya. Terpaksa Esti pun bekerja di sebuah toko minimarket
supaya bisa menabung untuk kuliah. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2000,
baru Esti mendapat kesempatan mendaftar di D-2 PGSD UNIMA.
Lulus dari PGSD, Esti pun tak
ragu untuk segera mengabdi di desa Tambun. Tak menjadi soal baginya meski waktu
itu statusnya hanya sebagai seorang guru honorer dengan penghasilan 75 ribu per
bulan. Baginya, mendapat kesempatan mengabdi di Desa Tambun adalah sebuah
kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Meski begitu, untuk menutupi kebutuhan
sehari-hari, Esti pun tetap melanjutkan usaha sampingannya berjualan keripik
1.000 rupiah per bungkus.
SDN Talise merupakan salah satu
SD yang terletak di daerah terpencil, yakni di Pulau Talise, Desa Tambun,
kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, provinsi Sulawesi Utara.
Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah masih sangat minim. Listrik masih
belum menjangkau daerah ini, sehingga pembelajaran harus dilaksanakan seadanya,
tak bisa menggunakan peralatan elektronik apapun. Keberadaanbuku paket sangat
membantu dalam pembelajaran, namun tak semua murid memilikinya. Bahkan Esti
sendiri pun terpaksa harus membeli sendiri buku-buku paket tersebut, yang
kadang kemudian ia bagikan pada murid-muridnya supaya pembelajaran berjalan
lancar. Namun syukurlah kondisi meja dan kursi sekolah sudah dalam keadaan baik
dan cukup karena baru saja mendapatkan bantuan DAK pada tahun 2011 lalu.
Kepala sekolah mempercayakannya
mengajar kelas 1 karena menilai Esti sebagai seorang yang lemah lembut dan
penuh perhatian pada anak-anak. Meski demikian, acapkali Esti pun mengajar
kelas-kelas yang lain. Di samping itu, ia pun kerap mengajar anak-anak di luar
jam sekolah, baik itu di rumahnya ataupun belajar di alam, misalnya di tepi
pantai. Belajar di alam justru membuat murid-muridnya lebih antusias dalam
belajar. Bahkan ada pula beberapa murid dewasa diatas usia 20 tahunan yang juga
ikut belajar membaca dan menulis.
Tahun 2004, Esti diangkat menjadi
guru bantu melalui keputusan pemerintah daerah. Gaji awal yang diterimanya sebagai
guru bantu adalah 710 ribu rupiah per bulan. “Saya sangat bersyukur dengan gaji
segitu, meski banyak orang bilang bahwa gaji segitu hanya cukup untuk beli
sabun dan bedak. Saya tak hiraukan, karena saya tidak melihat dari sisi nilai
uangnya. Saya benar-benar tulus mengajar, karena memang cita-cita saya ingin
membangun desa Tambun agar masyarakatnya mengenyam pendidikan. Selama ini,
hampir 60 persen penduduk di sana tidak lulus SD dan tidak bisa membaca dan
menulis,” ungkapnya.
Esti pun menikah dengan
Seliberata Sampurena, yang juga seorang guru honorer. Meski bertahan dengan
penghasilan yang menurut orang lain tidaklah besar, namun Esti dan suaminya
merasa amat bersyukur. Terlebih karena cita-cita mereka sama, yakni mengabdi di
desa Tambun, mencerdaskan generasinya melalui pendidikan. Namun Esti pun
menyadari bahwa banyak anak-anak dari golongan kaum miskin tak mampu mencukupi
kebutuhan pendidikan mereka. Oleh karena itu, Esti dan suaminya tak segan untuk
mengulurkan tangan membantu mereka mengatasi masalah. “Beberapa anak yang tidak
bisa mencukupi biaya sekolah kami bantu dengan memberi mereka uang. Beberapa
yang lain kami pinjami uang tanpa bunga,” katanya. Bahkan karena rasa sosial
ini, tak jarang Esti bahkan tak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. “Yang
penting mereka bisa sekolah. Tak mengapa bagi kami menjadi kekurangan, tapi
kami merasa amat bangga jika mereka berhasil sekolah, bahkan hingga melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi,” ujarnya.
Adakalanya Esti pun mengantar
murid-muridnya untuk mengikuti lomba di kabupaten. Salah satu peristiwa yang
paling membekas dalam ingatan Esti adalah ketika harus mengantar murid-muridnya
ke kabupaten, sementara cuaca sedang tidak begitu baik. Ombak di laut begitu
tinggi dan besar, sehingga ia dan murid-muridnya merasa sangt takut bahwa
perahu yang mereka tumpangi akan karam. Bahkan beberapa muridnya pun sempat
mengalami mabuk laut hingga mengotori seragam mereka. “Untunglah kami selamat
sampai di tempat lomba. Yang lebih menggembirakan lagi, beberapa murid saya
bahkan dapat meraih juara. Satu orang menjadi juara 1, dan tiga orang menjadi
juara 2,” kata ibu satu anak ini berbinar. Esti merasa sangat bersyukur karena
perjuangannya bersama murid-muridnya yang hingga bertaruh nyawa tidaklah
sia-sia.
Namun Esti pun tak menampik
kenyataan bahwa susahnya medan dan transportasi merupakan kendala tersendiri
dalam memajukan pendidikan di desa Tambun. Misalnya, setiap kali ada kegiatan
KKG di Kabupaten, Esti harus benar-benar memastikan cuaca sedang baik untuk
menuju ke kabupaten jika ingin berangkat, karena jika cuaca buruk, perahu pun
tak ada yang melaut.
Esti berharap bahwa masyarakat
semakin sadar tentang pentingnya pendidikan dan tak ragu untuk memotivasi
anak-anak untuk memiliki cita-cita tinggi dan berusaha keras meraihnya melalui
pendidikan. Ia pun berharap bahwa setidaknya sekolah tempatnya mengabdi
memiliki mesin diesel, sehingga dapat merasakan adanya listrik, dan dapat
memanfaatkan peralatan elektronik untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Harapan
terbesarnya pada pemerintah, supaya wilayahnya segera mendapat infrastruktur
yang nantinya akan memudahkan mobilitasnya. ***
Ditulis tahun : 2014
Diterbitkan di Buku Profil Gurdasus Tingkat Nasional 2014 (Kemendikbud)
No comments:
Post a Comment