Prof. Suyanto, Ph.D : Profesionalisme Guru di Era Global


Prof. Suyanto, Ph.D., mantan dirjen Dikdas Kemdikbud menyempatkan diri untuk memberikan motivasi dan paparannya dalam ajang Pemilihan PTK Berprestasi Nasional 2014 di Jakarta. Tema yang dibawakannya adalah mengenai profesionalisme guru di era global. Bagaimanapun, kemajuan dan perkembangan jaman juga menuntut guru untuk menjadi semakin profesional demi menyiapkan generasi masa depan.

Menurutnya, salah satu indikasi penting yang menentukan profesionalisme guru adalah kreativitas. Suatu negara, daerah, ataupun sekolah yang ingin unggul harus memiliki insan-insan yang penuh inovasi dan kreativitas. “Jadi, tenaga kependidikan harus memiliki inovasi dan kreativitas,” ujarnya, di hadapan para guru se-Indonesia. “Harus ada hal-hal yang baru, jangan mengulang-ulang hal-hal yang sama. Karena melakukan sesuatu yang berulang-ulang dan mengharap hasil yang berbeda adalah definisi dari gila,” tambahnya lagi. Ia juga menekankan bahwa kreativitas adalah sumber kebahagiaan. Hal lain yang tak kalah penting dan harus diperhatikan adalah mengembangkan networking atau jejaring atau pertemanan atau silaturahim.

Menurut Suyanto, guru dituntut harus profesional supaya sekolahnya unggul secara comparatif dan kompetitif. Guru diharapkan dapat menjadi motivator dan inspirator. “Inspirasi ini lebih penting daripada teknologi. Ketika guru sebagai motivator, maka kita akan bisa mendidik anak didik kita menjadi cerdas, inovatif, kreatif, jujur, disiplin, santun, percaya diri, mandiri, bertakwa, demokratis,” tuturnya. Ia juga menegaskan bahwa guru harus benar-benar mengetahui dan memahami tugasnya, yakni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,  dan mengevaluasi peserta didik.

Dalam proses pembelajaran, menurut Suyanto, guru yang profesional harus berpikiran terbuka dan tidak membatasi diri. Terlebih saat ini adalah era dengan teknologi yang canggih dan semakin mempermudah manusia. Banyak alternatif sumber belajar yang tersedia.  “Jangkauan guru tidak lagi terbatas pada dinding-dinding sekolah, tapi juga harus bisa memanfaatkan teknologi untuk melihat dunia luar, misalnya melalui internet,” katanya. Suyanto menegaskan bahwa guru tak seharusnya menjadi buta huruf di abad 21, yang artinya guru tidak bisa belajar melepaskan hasil belajar dan belajar kembali. “Jika memiliki pengalaman jelek, harus bisa dilepaskan. Misalnya, kebudayaan menghukum fisik siswa harus bisa dibuang dan dilupakan karena itu tidak baik. Tapi yang sulit adalah melepaskan hasil belajar. Pengetahuan, ilmu, ataupun informasi yang sudah tidak relevan atau tidak sesuai dengan jaman harus bisa kita buang. Sebab jika tidak demikian, maka kita adalah buta huruf abad 21. Oleh karena itu, guru harus belajar sepanjang hayat karena itu adalah bagian dari profesionalisme. Belajar tidak harus selalu kuliah, tapi juga bisa dengan cara memperkaya wawasan, mengikuti informasi terkini, menggali pengetahuan melalui berbagai media,misalnya internet,” terangnya.

Menurut Suyanto, guru pun harus mengajarkan etika kerja, kolaborasi, komunikasi yang baik, tanggung jawab sosial, berpikir kritis, dan pemecahan masalah pada para peserta didik. Terlebih karena ini sesuai dengan semangat Kurikulum 2013. Demikian pula guru harus memberikan ilmu komunikasi secara tertulis kepada peserta didik demi mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan di masa depan. “Murid juga harus dipacu hasrat keingintahuannya. Mereka harus dibangunkan interestnya, dan diperlakukan secara fleksible. Murid harus diajak untuk bercita-cita untuk membangkitkan inspirasi mereka,” ia menerangkan. Menurut Suyanto, guru yang paling jelek adalah guru yang hanya bisa mendeskripsikan saja. Yang baik adalah yang bisa mengilustrasikan. Yang lebih baik lagi yang mendemonstrasikan. Dan yang paling hebat lagi adalah yang bisa menginspirasi. Inspirasi merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam belajar. Ketika seseorang pikirannya diberikan inspirasi, dia akan mau melakukan apa saja. ***

Ditulis tahun : 2014


No comments:

Post a Comment