Hj. Djumuriah, S.Pd.I.
Guru daerah khusus Provinsi Sulawesi Barat
Hj. Djumuriah, S.Pd.I mulai mengabdi
menjadi guru sejak tahun 1982. Dengan masa kerja lebih dari 31 tahun, pantaslah
ia menerima penghargaan sebagai guru daerah khusus berdedikasi dari pemerintah.
Dedikasinya dalam mencerdaskan anak-anak bangsa sungguh luar biasa, terutama
ketika terjadi kerusuhan besar di Mamasa. Djumuriah dan suami memilih bertahan
dan tidak ikut mengungsi seperti yang lainnya. Dengan segenap keberanian dan
ketabahan, ia tak gentar untuk datang ke sekolah dan mengajar anak-anak yang
tinggal.
SDN Inpres 026 Mambi, yang terletak 2 km
dari kota Kecamatan, atau 35 km dari Kota Kabupaten Mamasa, memiliki jumlah
siswa sebanyak 246 orang pada tahun ajaran 2013/2014 ini. Para siswa tersebut
dididik oleh guru sebanyak 18 orang. Guru PNS sebanyak 8 orang, dan guru
honorer sebanyak 10 orang.
Saat ini, kondisi sarana dan prasarana di
sekolah sudah cukup baik, dengan fasilitas yang sudah memadai. Masyarakat di
sekitar pun cukup baik, dan toleransi antar umat beragama cukup tinggi, baik
yang Islam maupun yang non Islam. Mereka sangat mendukung program pendidikan,
baik itu pendidikan agama ataupun pendidikan umum.
Kebetulan Desa Mambi adalah tempat asal
Djumuriah, sehingga ia telah mengenal betul seluk beluknya. Ketika ia menjadi
guru di SDN Inpres 026 Mambi, tak banyak kesulitan berarti yang ditemuinya,
meski di daerah tersebut masih belum terdapat jalur komunikasi. Karena kendala
inilah, maka guru-guru yang dikirimkan ke Mambi menjadi tidak betah dan meminta
pindah ke tempat lain. Tak pelak, SDN Inpres 026 Mambi seringkali kekurangan
guru.
Namun saat ini akses sudah lebih mudah
disbanding saat-saat awal pada tahun 80-90an. Tak begitu banyak kendala yang
berarti, sehingga pendidikan di Mambi saat ini sudah jauh lebih baik.
Masa paling genting yang pernah dialami ibu
dari empat anak ini adalah ketika meletus kerusuhan besar sekitar tahun 2002
silam. Pasca disahkannya UU No. 11 Tahun 2002 oleh DPR tentang Pembentukan kota
Palopo dan Kabupaten Mamasa, maka mulailah masyarakat pro dan kontra melakukan
unjuk rasa besar-besaran, baik itu di DPRD Polmas sampai ke kantor Gubernur
Sulawesi Selatan.
Pada saat itu, masyarakat saling mengadakan
perlawanan, terbagi dalam dua kelompok. Sementara masyarakat biasa mengungsi ke
daerah yang aman seperti ke Polewali, Majene, atau Mamuju. Hanya masyarakat
yang miskin yang memilih untuk tidak kemana-mana karena ketiadaan biaya,
sehingga mereka hanya berpasrah diri.
Djumuriah bersama suami – yang adalah
seorang ulama setempat, memilih untuk tinggal di kampung dan tetap melayani
siswa-siswa yang masih tinggal di kampung.Selain itu, rumah Djumuriah pun kerap
menjadi posko untuk melayani pemerintah yang setiap waktu datang berkunjung.
Keadaan ini berlangsung hingga tahun 2004, saat pemerintah Sulawesi Barat
mengambil alih wilayah Aralle, Tabulahan, dan Mambi. Rumah Djumuriah menjadi
tempat berkumpulnya Pemerintah maupun para petugas keamanan. “Kamilah yang
melayani mereka sambil melaksanakan tugas sebagai guru, melancarkan proses
belajar mengajar di SDN Inpres 026 Mambi, sebab waktu itu tidak ada rumah
lainnya yang berisi kecuali rumah kami,” kisah wanita kelahiran 31 Desember
1954 ini.
Peristiwa konflik ini terus berlangsung
sampai tahun 2008, dimana pada akhirnya Aralle, Tabulahan, dan Mambi dapat
digabungkan dengan Kabupaten Mamasa. “Selama terjadinya konflik daerah, kami
lah yang paling merasakan suka dukanya, karena kami tidak pernah meninggalkan
kampung. Kami berpikir apabila kampung ini kosong, jangan sampai ada yang
merusak atau membakar kampung sehingga ketika mereka (penduduk) itu kembali
lagi, mereka masih mendapati rumah mereka aman,” kata Djumuriah.
Bertahan selama lebih dari 30 tahun
mengabdikan diri mendidik anak-anak bangsa dengan berbagai macam ujian dan
cobaan membuat Djumuriah pantas mendapatkan penghargaan sebagai guru daerah
khusus berprestasi dari pemerintah. Ini membuat Djumuriah amat bersyukur,
karena selain mendapat penghargaan, ia pun berkesempatan mengunjungi Jakarta,
berwisata ke tempat-tempat menarik seperti Masjid Istiqlal maupun Kota Tua,
bertemu dengan Ibu-ibu SIKIB, hingga mengikuti upacara kemerdekaan di Istana
Negara. Sebuah pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan olehnya. ***
Ditulis tahun : 2013
Diterbitkan di Buku Profil Gurdasus Tingkat Nasional 2013 (Kemendikbud)
No comments:
Post a Comment