Arry Wijayanty, S.Pd.
Guru daerah khusus SILN di Sabah, Malaysia
Guru daerah khusus SILN di Sabah, Malaysia
Gajinya sebagai guru terbilang
cukup besar, lebih dari 10 juta per bulan. Kendati demikian, Arry Wijayanty,
S.Pd, yang mengabdi di Sabah, Malaysia sejak tahun 2011 pun menghadapi banyak
tantangan yang berat dalam mengemban tugasnya mendidik dan membimbing anak-anak
TKI yang umumnya bekerja di lahan perkebunan kelapa sawit.
Awal datang ke Sabah, wanita
kelahiran Malang, 12 Januari 1988 ini ditugaskan untuk mengajar di Community Learning Centre atau Sekolah
Terbuka, yang terletak di daerah Baturong, Kunak, Sabah hingga tahun 2013.
Semua fasilitas untuk guru sudah disediakan. Kekurangannya hanyalah tidak
adanya sinyal telekomunikasi.
Jarak dari tempat tinggal menuju
sekolah adalah sejauh 1 km, yang biasa ditempuh dengan jalan kaki. Namun untuk
mengajar di tempat belajar yang agak jauh harus ditempuh dengan lori atau truk,
dan melewati jalanan berbatu. “Kalau musim hujan, jalanan berbatu itu berubah
menjadi berlumpur. Seringkali baju kami kotor terkena lumpur saat hendak
berangkat ke sekolah,” cerita Arry.
Lingkungan daerah Arry mengajar
sebagian besar adalah lahan perkebunan kelapa sawit yang nyaris seperti hutan.
“Kadang ditemui adanya gajah, monyet, sampai ular, yang kadang mengganggu,
kadang hanya sekadar lewat. Tapi untuk bertahan hidup, kami mendapat banyak
kemudahan dari alam. Kami sering mencari jamur di sekitar pohon sawit yang enak
untuk dimasak, atau memancing ikan di sungai jika sudah kehabisan lauk pauk,” tuturnya.
Di sekolah, Arry yang Sarjana
Matematika pun dituntut untuk juga mengajar IPA dan Bahasa Indonesia. Di
samping itu, ia juga mengajarkan beberapa ketrampilan dan keahlian, misalnya
memanfaatkan barang-barang bekasa menjadi kerajinan-kerajinan daur ulang
ataupun menjahit. Bahkan berkat kreatifitas ini, para siswa dapat meraih
berbagai prestasi yang membanggakan dan juga melatih mereka untuk mengembangkan
wirausaha. “Saya berharap kemampuan dan keahlian ini dapat membantu mereka
untuk hidup di kemudian hari, sehingga tak harus menjadi pemungut biji sawit
seperti orangtua mereka,” kata Arry.
Tahun 2013, Arry dipindahkan
untuk mengajar di daerah Keningau, Sabah. Keningau sudah termasuk daerah
perkotaan yang sudah dilengkapi highway
full aspal dan juga signal telekomunikasi. Jarak dari tempat tinggal menuju
sekolah sejauh 6km, ditempuh dengan sepeda motor.
Sebagai tempat belajar, sekolah
menyewa tempat/gedung sekolah pada seorang tuan tanah dengan biaya sewa RM.
5,00 per siswa. Padahal sekolahnya masih berlantaikan tanah dan berdinding
kayu. Meski demikian, sekolah telah dilengkapi dengan sarana ketrampilan
seperti mesin jahit dan peralatan ketrampilan lainnya, meski masih dalam jumlah
yang sangat terbatas.
Menurut Arry, tantangan terbesar
mengajar di Keningau adalah jumlah murid yang sangat banyak. “Ada sekitar 450
siswa SMP yang tersebar di 3 wilayah tempat belajar, yakni di Biah, Bingkor,
dan Java. Sedangkan jumlah guru hanya 27 orang,” kata Arry.
Salah satu kendala mengajar yang
dihadapi Arry adalah persoalan absensi murid, sementara ia pun dituntut untuk
mematuhi kurikulum. Menurut Arry, salah satu sebab anak-anak sering tidak masuk
sekolah adalah karena kebanyakan siswa-siswa anak TKI tersebut tidak memiliki
paspor, demikian pula dengan orangtuanya. Mereka adalah para imigran gelap.
“Apabila musim checking dari imigrasi, mereka akan bersembunyi di hutan-hutan
sawit dan bahkan hingga menginap,” Arry mengungkapkan. Jika siswa sudah terlalu
sering tidak masuk, Arry pun melakukan kunjungan ke rumah-rumah siswa untuk memberi
pengertian pada orangtuanya.
Harapan Arry, setelah masa
kontrak mengajarnya di Sabah habis, ia memiliki kejelasan status sehingga
memudahkan sertifikasi, seperti halnya guru-guru lulusan SM3T yang sebagian
besar sudah tersertifikasi. ***
Ditulis tahun : 2014
Diterbitkan di Buku Profil Gurdasus Tingkat Nasional 2014 (Kemendikbud)
Terima kasih.. sudah membuat tulisan ini.. -Arry
ReplyDelete