Profil Juara : Ingin Membuat Rumah Singgah


Ade Ayu Niken Novitasari, S.Pd.
Juara I LKG Sekolah Pendidikan Khusus Tingkat Nasional 2013

Tak mudah menjadi guru. Apalagi menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus, dan menyulap mereka menjadi lihai dalam menari. Namun Ade Ayu Niken Novitasari, S.Pd telah membuktikan bahwa ia mampu melakukannya. Mengabdi selama kurang lebih 10 tahun di SLB Dharma Wanita, Grogol, Kediri, Jawa Timur telah memberinya banyak kesempatan untuk melimpahkan manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.


Lulus dari jurusan PLB Universitas Negeri Surabaya (UNESA) tahun 2003, Niken langsung bekerja di SLB Grogol, Kediri, kota kelahirannya. Saat itu, statusnya masih sebagai guru sukarelawan. Ia mengatakan bersedia untuk tidak digaji, karena niat utamanya adalah untuk mengabdi dan membaktikan ilmu yang telah didapatnya di bangku kuliah.

Sejak belia, wanita kelahiran Kediri, 6 Agustus 1979 ini memang senang dengan kegiatan sosial. Harapannya adalah ingin menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi sesama. “Awalnya, saya ingin berhasil, sukses, punya uang banyak, dan punya panti asuhan. Pokoknya ingin bergerak dalam bidang sosial, ingin membantu orang lain,” kisahnya mengenai cita-cita di masa mudanya. Kendati demikian, saat itu masih tak terbersit di benaknya untuk terjun di dunia pendidikan. Saat mendaftar UMPTN, Niken memilih fakultas Hukum di UNAIR. Namun rupanya ia gagal. Sembari menanti momen UMPTN selanjutnya di tahun depan, kemudian Niken memutuskan untuk mengikuti kursus Bahasa Inggris di BEC Kampung Inggris Kediri selama 6 bulan.

Tahun 1999, Niken kembali mencoba mengikuti ujian UMPTN. “Saya baca pilihan-pilihan jurusan. Kemudian saya lihat ada jurusan Pendidikan Luar Biasa. Sepertinya kok menarik, meski saya belum tahu seperti apakah itu. Akhirnya saya mencoba mendaftar,” kisah Niken. Rupanya, itulah awal dari jalan takdir yang membimbingnya untuk meniti hidup di dunia pendidikan anak-anak luar biasa. Niken diterima di PLB Unesa.

Setelah lulus, Niken kembali ke kampung halamannya. Ia berharap dapat mengabdikan diri di sekolah luar biasa yang ada di Kediri. Namun ternyata mencari kesempatan itu pun bukanlah hal yang mudah karena keterbatasan jumlah SLB di Kediri. Tapi pucuk dicinta ulam tiba, ternyata rumah kekasih Niken (yang saat ini telah menjadi suaminya) berdekatan dengan sebuah SLB. Tak ragu lagi, maka Niken pun memberanikan diri untuk mengajukan lamaran menjadi guru sukarelawan di SLB tersebut.    

“Waktu awal masuk sempat ditanya oleh kepala sekolah, menguasai keterampilan apa? Saya jawab bisa menjahit, bisa menari  Jawa,dan lain sebagainya. Beliau kemudian bertanya apakah saya bersedia jika tidak digaji karena keterbatasan anggaran sekolah? Saya jawab bersedia,” kisah Niken. Maka sejak itulah ia menjadi guru sukarelawan di SLB Dharma Wanita, Grogol, Kediri.

Menjadi Guru Tari
Sejak menjadi guru di SLB Dharma Wanita, Grogol, Kediri, Niken bersemangat untuk mengajarkan anak-anak didiknya dengan berbagai kemampuan, terutama melalui bakat Niken, misalnya di bidang tari. Dalam soal menari, ia mengaku belajar secara otodidak. “Saya tidak pernah les, dsb karena keterbatasan kemampuan orang tua dalam memfasilitasi saya. Paling-paling kesempatan saya mengasah diri hanya pada saat ikut ekstrakurikuler di sekolah. Dulu waktu masih sekolah, saya juga sering tampil untuk menari kalau ada event-event,” ceritanya. Sejak kecil, Niken harus berpuas diri meski tak dapat hidup bermewah-mewah dan mencoba berbagai fasilitas. Ayahnya hanya seorang lulusan SD yang waktu itu bekerja sebagai sales. Sedangkan ibunya yang lulusan SMEA hanyalah ibu rumah tangga biasa. Namun beruntung Niken dilahirkan dengan banyak bakat dalam dirinya.

Terbukti, bakat Niken memberinya manfaat di kemudian hari. Kini, Niken bisa menularkan kemampuannya dalam menari pada anak-anak didiknya hingga mereka berprestasi dan mengundang decak kagum orang lain. Bahkan sejak tahun 2006, anak-anak SLB Dharma Wanita kerap menjadi juara I di tingkat kabupaten. “Berkat keterampilan menari yang saya ajarkan pada murid-murid saya yang tuna rungu, ini sekaligus menjadi ajang promosi SLB pada masyarakat. Dari situ, akhirnya masyarakat banyak yang mengenal SLB ini, hingga pada akhirnya mereka pun berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke SLB Dharma Wanita,” tutur Niken.

SLB Dharma Wanita adalah sebuah sekolah milik yayasan Dharma Wanita untuk anak berkebutuhan khusus, yang terletak di kecamatan Grogol, kabupaten Kediri, Jawa Timur. Lokasinya berada di depan sebuah pemakaman, dengan hutan pohon jati di sekitarnya.  Awalnya,  sekolah ini bahkan tak memiliki gedung sekolah. Namun kemudian salah satu warga sekitar yang biasa dipanggil Mbah Dib (yang sekarang menjadi ketua yayasan) mewakafkan tanahnya untuk dibangun gedung SLB. “Waktu saya pertama kali ngajar, SLB baru pindah ke gedung baru selama satu bulan. Waktu itu gedung barunya masih satu lokal, yang kemudian disekat-sekat menjadi beberapa kelas,” kata Niken. Saat itu, menurutnya, hanya ada empat guru yang mengajar untuk sekolah setingkat SD.

Namun seiring waktu, pemerintah memberikan bantuan melalui beberapa programnya. Saat ini SLB Dharma Wanita sudah memiliki jenjang TK, SD, SMP, hingga SMA. Jumlah total muridnya di tahun ajaran 2013/2014 sebanyak 80 siswa, dengan guru sebanyak sepuluh orang. “Yang PNS baru 4 orang, termasuk kepala sekolah. Sedangkan yang sudah tersertifikasi sudah ada 7 orang,” kata Niken, yang mengajar tuna rungu di tingkat SD, dan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan SBK di tingkat SMP maupun SMA.

Hampir sebagian besar siswa SLB Dharma Wanita berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang kebanyakan tinggal di desa-desa, dengan orang tua yang hanya bermata pencaharian sebagai petani, sehingga tidak mendapatkan gaji tetap bulanan. Selebihnya adalah bermata pencaharian sebagai pegawai. Kendati demikian, menurut Niken, antusiasme para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya cukup tinggi. Tak jarang mereka pun rela menunggui anaknya di sekolah lantaran jarak dari rumah mereka ke sekolah cukup jauh.

Untuk menyekolahkan anaknya, mereka pun tidak dikenai biaya apapun, alias gratis. . “Tapi ada paguyuban orang tua murid yang biasanya menyumbang dana untuk sekolah. Yang jelas, pada prinsipnya sekolah tidak memaksa orang tua untuk membayar uang sekolah. Tapi kalau ada yang memberikan sumbangan, tentu kita terima dengan sukacita,” kata Niken.

Niken resmi diangkat menjadi pegawai negeri sipil sejak tahun 2010. Awalnya, ia hanya menjadi guru sukarelawan pada saat melamar pada tahun 2003. Pada tahun 2005, melalui program guru bantu yang dicanangkan presiden Megawati, Niken pun diangkat menjadi guru bantu. Kemudian pada tahun 2008,  ia diangkat menjadi CPNS sejak terdapat program dari pemerintahan SBY bahwa guru bantu akan diangkat menjadi PNS. Kendati demikian, terpaksa Niken harus pindah ke SLB Negeri Sumberejo, Kandat, karena proses pengangkatan pegawai negeri harus melalui sekolah negeri. Setelah diangkat menjadi PNS, wanita yang sekarang berpangkat golongan III-B ini diminta kembali mengajar ke yayasan SLB Dharma Wanita Grogol. “Tapi kali ini prosedurnya melalui dinas,” terangnya.

Suka ‘mengamen’
Dalam mengajar, Niken selalu menganggap murid-muridnya bak anaknya sendiri, sehingga ia memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Ia tak pernah berputus asa meski yang dihadapinya adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Ia tetap bersemangat dalam mengajar ilmu pengetahuan, menari, ataupun mendidik mereka supaya menjadi manusia yang siap terjun di tengah masyarakat. “Bahkan meski saya sedang hamil besar dan mau melahirkan, saya tak segan untuk melatih langsung mereka untuk menari, terutama ketika mereka hendak mengikuti lomba atau tampil di sebuah event. Itu sudah terjadi dua kali, saat mau melahirkan anak pertama maupun anak kedua saya,” ceritanya. Tak jarang, Niken pun mengajak siswa-siswanya untuk ‘ngamen’, istilah yang ia pergunakan untuk turut berpartisipasi dalam berbagai event, misalnya 17 Agustusan di desa-desa, atau event-event yang diselenggarakan dinas atau corporate. “Anak-anak sangat termotivasi, apalagi mereka senang di-make up,” ujarnya.

Ibu dua anak ini memang penuh dengan talenta. Selain menari, ia pun lihai dalam melukis. Keahliannya itu pun ia pergunakan dalam metode pembelajaran, karena menurutnya anak-anak lebih senang melihat atau bermain dengan gambar-gambar bagus yang warna-warni. “Kadang saya yang menggambar, kemudian mereka yang mewarnai. Itu sudah membuat senang untuk anak-anak tuna grahita maupun tuna rungu.

Bakat Niken ini pun rupanya menurun pada anak-anak kandungnya. Anak pertamanya yang berusia 9 tahun bahkan pernah berprestasi mewakili Kabupaten Kediri dalam lomba seni lukis tingkat provinsi. Menurutnya, selain melukis, ia pun senang dengan menari. Sedangkan anak keduanya pun tampaknya senang pula melukis. “Cuman masih belum mau diarahkan,” tuturnya.

Niken mengaku tak pernah menyangka bahwa dirinya menjadi juara 1 dalam lomba Kreativitas Pembelajaran Guru Sekolah Pendidikan Khusus tingkat Nasional 2013. Sehingga ketika namanya disebutkan sebagai pemenang, Niken tak kuasa menahan haru, karena ternyata ia sanggup mengalahkan 28 peserta dari seluruh Indonesia. Dalam ajang lomba tersebut, ia mengetengahkan karya penelitiannya, yakni inovasi media permainan Spondal 3D dengan strategi TPS Asyik untuk meningkatkan kemampuan menulis kata fungsional siswa tuna rungu di sekolah tempat ia mengajar.

Spondal 3D
Kemampuan komunikasi siswa SMALB Tuna Rungu  di SLB Dharma Wanita Grogol banyak mengalami hambatan, yakni sering terjadi kesalahpahaman maksud dan keinginan siswa dengan penerimaan lawan bicara. Hal itu disebabkan karena dalam komunikasi, siswa masih banyak menggunakan bahasa isyarat yang kurang dipahami oleh orang lain.

Di lingkungan terdekat siswa, misalnya keluarga, mereka sering menggunakan bahasa isyarat yang belum tentu dapat dipahami dengan baik oleh anggota keluarga yang lain. Banyaknya hambatan komunikasi secara lisan mengharuskan siswa tuna rungu  memilih cara komunikasi yang lebih efektif yakni melalui tulisan. Namun dalam menulis kata, siswa sering membolak-balik penempatan huruf yang menyebabkan makna kata berbeda. Misalnya, kata “kursi” mereka tulis “kusir”. Padahal makna kata antara kursi dan kusir  sudah jauh berbeda. Hal itu berpengaruh pada kegiatan selanjutnya sebagai bagian komunikasi, karena dengan pemahaman arti kata berbeda menimbulkan tanggapan yang berbeda pula.

Dalam pelajaran Bahasa Indonesia di SLB Dharma Wanita Grogol, latihan menulis kata sering dilakukan dengan menggunakan media kartu gambar. Media kartu gambar digunakan dengan cara berikut: siswa diberi sebuah gambar tanpa nama, kemudian mereka diajak untuk menuliskan nama gambar tersebut. Namun rupanya kegiatan pembelajaran tersebut dirasa kurang tepat bila diterapkan pada siswa SMALB dengan pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih kompleks. Tujuan pembelajaran di SMALB tidak hanya sekedar belajar menulis kata, tetapi harus ada tujuan pendampingan yang mengarah pada kemandirian siswa serta pembelajaran kewirausahaan.

Oleh karena itu, perlu media lain untuk dapat menyukseskan tujuan pembelajaran tersebut. Salah satu solusinya adalah dengan penggunaan media spondal 3D. Media ini dianggap mampu meningkatkan kemampuan menulis kata fungsional sekaligus mengasah keterampilan siswa untuk berwirausaha, karena pembelajaran ini  mengajak siswa untuk berpikir, berkreasi, dan berimajinasi membentuk suatu benda dari lembaran spon sandal, untuk selanjutnya benda yang sudah terbentuk tersebut diberikan label nama benda hasil karyanya sendiri. Dalam kegiatan ini, siswa diharuskan berfikir kreatif menciptakan sebuah bentuk, tekun, telaten dan tidak mudah menyerah. Dalam berkreasi siswa  tidak harus bekerja sendiri, siswa dapat bekerjasama dengan teman, bertanya, serta meminta bimbingan guru untuk mengembangkan kreativitasnya.
Proses kegiatan pembelajaran dengan media permainan spondal 3D ini tidak harus dilakukan di dalam ruangan yang menegangkan. Kegiatan pembelajaran ini dapat pula dilakukan dalam suasana yang santai, tetapi tetap sopan. Siswa diperbolehkan mengerjakan pekerjaannya di bawah tanpa bangku atau dengan model lesehan, dengan sikap duduk santai tapi sopan. Yang penting siswa merasa nyaman dan asyik mengerjakan kegiatan merangkai model dari lembaran spon sandal.

Strategi Think Pair and Share (TPS) Asyik
Think Pair and Share (TPS) merupakan suatu teknik sederhana dengan keuntungan besar. Think Pair and Share (TPS) dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi. Seorang siswa juga dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas. Selain itu, Think Pair and Share (TPS) juga dapat memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kelas.

Think Pair and Share (TPS) sebagai salah satu metode pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu thinking, pairing, dan sharing. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pembelajaran (teacher oriented), tetapi justru siswa dituntut untuk dapat menemukan dan memahami konsep-konsep baru (student oriented).

Model Pembelajaran Think Pair and Share menggunakan metode diskusi berpasangan yang dilanjutkan dengan diskusi pleno. Dengan model pembelajaran ini, siswa dilatih bagaimana mengutarakan pendapat. Siswa juga belajar menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi/tujuan pembelajaran.
Metode ini membutuhkan banyak waktu karena terdiri dari 3 (tiga) langkah yang harus dilaksanakan oleh seluruh siswa, yang meliputi tahap think, pair, share. Untuk mengatasi hambatan dalam penerapan metode kooperatif think pair share yaitu guru akan berkeliling kelas dengan mengingatkan kembali tahap-tahap yang harus siswa lalui. Hal tersebut dilakukan agar siswa tertib dalam melalui setiap tahapnya dalam proses pembelajaran ini. Guru akan memberikan point pada siswa jika siswa tersebut mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, atau memberikan sanggahan pada tahap share. Model pembelajaran Think-Pair-Share diharapkan dapat mengembangkan keterampilan berfikir dan menjawab para siswa dalam komunikasi antara satu dengan yang lain, serta bekerja saling membantu dalam kelompok kecil.

Dalam hal ini, guru sangat berperan penting untuk membimbing siswa melakukan diskusi, sehingga tercipta suasana belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan demikian, jelas bahwa melalui model pembelajaran Think-Pair-Share, siswa secara langsung dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta mempresentasikan di depan kelas sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

Kata asyik dalam hal ini mengarah pada proses kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, dimana siswa dalam mengerjakan tugas tidak harus didalam ruangan diatas bangku masing-masing, siswa dapat mengerjakan secara santai duduk dibawah sambil lesehan.

Secara individu maupun klasikal kemampuan siswa menulis kata fungsional  mengalami peningkatan. Pada kondisi awal sebelum ada perlakuan, kemampuan menulis siswa sangat kurang, menulis kata masih terbalik, karena anak hanya menghafal tulisan tanpa mengerti artinya. Namun setelah digunakan media permainan  spon sandal 3 dimensi dengan strategi TPS asyik, siswa merasa senang menulis kata karena kata-kata yang ditulis bisa didapat dari ide siswa sendiri. Siswa berpikir sendiri atas idenya, serta mendiskusikan dengan teman kelompok dan guru pengajar. Siswa juga lebih antusias dan semangat untuk menulis karena guru memberikan rangsangan ide melalui media internet sehingga siswa lebih bebas berkreasi, berimajinasi, lebih leluasa menuangkan ide membentuk model serta pemberian nama melalui tulisan.

Penggunaan media permainan  spon sandal 3 dimensi dengan strategi think, pair and share (TPS) asyik  ini dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis kata fungsional para siswa tuna rungu di kelas X SMALB Dharma Wanita Grogol.  Harapannya, para siswa tuna rungu tersebut dapat dengan lancar menulis kata fungsional dan mengingat serta memahami arti kata tersebut, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Menurut Niken, kegiatan menulis yang dianggap sulit dan membosankan bagi siswa SMALB  perlu dicarikan media pembelajaran yang kreatif, inovatif, supaya siswa merasa senang dan dapat menikmati proses pembelajaran serta mampu mandiri. Untuk itu ia menyarankan kepada para pengajar atau guru di SLB untuk tidak putus asa menghadapi siswa-siswinya yang mulai bosan, kurang minat, atau kurang antusias dengan proses pembelajaran pada pelajaran yang dianggap sulit. Harus segera dicarikan solusi agar pelajaran dapat dinikmati dengan nyaman dan menyenangkan, serta membawa hasil yang bermanfaat bagi mereka. Selain itu, Niken juga menyarankan supaya para guru pun jangan segan memanfaatkan barang bekas di sekitarnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran. Dapat pula menggunakan media teknologi sebagai alat referensi guna menunjang pembelajaran.

Ingin Membangun Rumah Singgah
Setelah mendapat banyak hadiah, Niken berencana untuk membuat semacam rumah singgah yang memberikan pendidikan informal bagi anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak terlantar, maupun yatim piatu, karena di sekitar tempat tinggalnya banyak anak-anak yatim yang kurang mampu dan butuh sekolah. “Mereka yang sudah lulus dari SMALB biasanya bingung mau ke mana. Saya ingin punya tempat yang dapat membekali mereka keterampilan sampai mereka mampu bersaing dengan orang normal. Saya juga ingin mencari jaringan dengan perusahaan-perusahaan untuk mereka, dan membuktikan bahwa mereka sudah siap dan mampu bekerja. Saya optimis pasti bisa,” tutur Niken dengan penuh semangat.

Ia mengatakan bahwa ia sudah memiliki tempat, yakni di atas tanah warisan suaminya. “Ini semacam informal, dan setiap hari. Kalau perlu, mereka bisa tinggal di rumah itu. Jadi mereka nggak hanya sekolah di SLB saja,” ujarnya. “Yang penting saya sudah berusaha, apapun hasilnya, saya kembalikan pada Allah,” pungkasnya, dengan wajah penuh senyuman. Selain itu, Niken pun berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji bersama suaminya tercinta. ***

Ditulis tahun : 2013

No comments:

Post a Comment