SD Negeri Polisi 4 Bogor : Berkarakter Unggul, Berwawasan Lingkungan


Di wilayah manapun, setiap sekolah negeri favorit selalu menjadi incaran bagi orangtua murid saat masa penerimaan siswa baru. Tak terkecuali di kota Bogor, Jawa Barat. Sebuah sekolah yang terletak di Jalan Polisi I nomor 7, Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor selalu ramai saat masa penerimaan siswa baru dibuka. Akan tetapi, SD Negeri Polisi 4 Bogor, nama sekolah tersebut, memiliki cara sendiri dalam menyaring siswanya. “Setelkan lagu, minta anak menyanyi. Dari situlah kami memilih mana anak yang bisa diterima atau tidak. Dari menyanyi bisa terlihat keberaniannya, apakah anak ini bisu atau tidak, dan sebagainya,” kata Yayah Komariah, M.Pd., kepala SDN Polisi 4, Bogor. Selain itu, menurutnya, anak juga akan ditanya mengenai kekerabatan, mengenai orangtuanya. Seperti nama ayah atau ibunya. Akan mendapat poin tambahan jika anak mampu melafalkan doa-doa pendek, misalnya doa sebelum tidur atau sebelum makan.

SDN Polisi 4 memang tak pernah sepi peminat. Bahkan banyak pula yang tinggalnya cukup jauh dari sekolah. Hal ini dikarenakan SDN Polisi 4 sarat dengan prestasi, salah satu alasan yang menjadi pertimbangan mereka. Ditambah lagi dengan adanya program-program sekolah yang mampu membentuk anak menjadi lebih berkarakter dan berwawasan lingkungan dengan mengedepankan budaya nasional. Para lulusannya pun terbukti menjadi sosok yang berkarakter dan mampu bersaing di tempat-tempat unggulan. Salah satunya adalah Walikota Bogor, Bima Arya, alumnus yang sempat mengunjungi sekolah almamaternya ini saat inspeksi Ujian Nasional. Tak pelak, SDN Polisi 4 senantiasa memiliki nilai tambah di mata masyarakat.


Kilas balik mengenai sekolah ini, SDN Polisi 4 Bogor didirikan sejak tahun 1930. Awalnya adalah Sekolah Rakyat VIII. Baru pada tahun 1970 sekolah berubah nama menjadi  SDN Polisi 4. Sebabnya, saat itu dibangun pula Kantor Polisi Wilayah (Polwil) Bogor di wilayah Kelurahan Paledang. Diberi nama SDN Polisi 4 karena lokasinya berada di sekitar komplek Kantor Polwil Bogor.

Saat ini, sekolah yang berdiri di atas tanah seluas 1.343 m2 ini memiliki 24 rombongan belajar dengan jumlah siswa mencapai 1.032 anak. Setiap tingkatan kelas memiliki 4 kelas pararel. Sedangkan jumlah guru saat ini mencapai 50 orang, yang terdiri dari 36 guru PNS dan 14 guru non-PNS. Sekolah yang pernah menyabet gelar juara II dalam Lomba Manajemen Berbasis Sekolah Tingkat Nasional tahun 2015 ini kini dipimpin oleh Yayah Komariah, M.Pd., sosok pendidik yang terutama sangat peduli dengan wawasan lingkungan.

Yayah, demikian ia akrab disapa, baru menjadi kepala di SDN Polisi 4 sejak tahun 2013. Belum terlalu lama, namun ia adalah sosok yang pernah membawa banyak perubahan pada sekolah yang sebelumnya ia pimpin, yakni SDN Bantar Jati 9, Bogor. Yayah sendiri mengawali karirnya sebagai guru pada tahun 1982. Awalnya, wanita kelahiran Bogor, 19 februari 1962 ini mengajar di SDN Banyuresmi, kecamatan Cigudeg, Bogor. Namun Usai menikah, Yayah memutuskan untuk mengikuti suami yang bertugas di Cibalu, Bogor, sehingga ia mengurus kepindahan mengajar ke SDN Cibalu 1. Selama berada di sekolah ini, Yayah lebih banyak diamanahi untuk mengajar kelas 1. Di samping itu, ia juga merangkap sebagai manajer drumband dan kerap dipercaya mengelola dana bantuan orangtua untuk sekolah.

Pada tahun 2004, ia mengikuti tes calon kepala sekolah. Beberapa tahapan tes seperti tes tulis, psikotes, wawancara, maupun presentasi telah ia lalui. Hasilnya, Yayah lulus dengan nilai tertinggi di antara seluruh peserta di kota Bogor. Kemudian ia pun ditugaskan di SDN Bantar Jati 9, yang terletak di Bogor Utara. Di sekolah ini, Yayah seolah menerima tantangan yang cukup berat. Pasalnya, kondisi sekolah pada saat itu, menurutnya, perlu banyak pembenahan. “Muridnya sedikit sekali, hanya ada 160 siswa dengan jumlah guru sebanyak 20 orang. Kondisi sekolahnya panas, gersang, dan kumuh. Pembelajaran dan pengelolaan sekolah pun dijalankan ala kadarnya,” kisahnya.

Dengan penuh tekad, Yayah segera melakukan banyak perubahan di sekolah ini. Berkat kerja keras dan keuletannya, sekolah yang semula tak pernah dipertimbangkan ini berubah wujud menjadi sekolah yang rindang, teduh, asri, dan cantik. Yayah berhasil mengubah lingkungan sekolah menjadi jauh lebih baik, bahkan menginspirasi sekolah-sekolah lainnya. Seiring dengan waktu, sekolah pun kerap menerima banyak prestasi, antara lain sebagai sekolah Adiwiyata Mandiri. Siswanya pun hingga beroleh kesempatan untuk membawakan presentasi tentang pendidikan ramah lingkungan di Jepang. Yayah sendiri pernah mengikuti program studi banding ke lima sekolah di Singapura yang difasilitasi oleh Kemdikbud. Soal prestasi, Yayah pernah meraih juara II dalam Lomba Kepala Sekolah Berprestasi Tingkat Provinsi Jawa Barat, namun meraih juara I Lomba Kepala Sekolah Berwawasan Lingkungan Tingkat Provinsi Jawa Barat.

Seiring dengan nama sekolah yang kian melambung, banyak tamu yang ingin melihat keberhasilan dan keindahan sekolah yang dipimpin Yayah. Tak hanya tamu dari beberapa kawasan di Indonesia saja, namun bahkan hingga tamu-tamu dari luar Indonesia seperti Amerika Serikat, Nepal, Malaysia, dan sebagainya. Citra sekolah semakin dikenal dan kepercayaan masyarakat pun semakin bertambah.
Selama sembilan tahun mengabdi di SDN Bantar Jati 9, Tepatnya tahun 2013, Yayah dimutasi untuk menjadi kepala sekolah di SDN Polisi 4 Bogor, sebuah sekolah yang terletak di pusat Kota Bogor. Kondisi sekolah yang kerap difavoritkan masyarakat ini tentu amat berbeda dengan sekolah yang pernah dipimpinnya sebelumnya. “Di sini semuanya sudah serba ada. Penataan bukti fisiknya sudah rapi, visi misinya jelas. Saya tidak langsung merubah drastis, melainkan mencoba untuk menganalisa kesemuanya, peluang-peluang apa saja yang bisa diraih, kendala apa saja yang perlu diselesaikan,” kata Yayah.

Salah satu hal yang dilakukan Yayah antara lain dengan menjadikan SDN Polisi 4 sebagai Pesona Batik di Bumi Pakuwon, yang merupakan singkatan dari Pembelajaran Efektif Siswa Olah Nalar, Bahan Ajar Tematik di bumi  Pakuwon atau Bogor. Misi tagline ini juga menjadi andalan hingga mampu menyabet berbagai penghargaan, antara lain juara II Lomba Perpustakaan Tingkat Provinsi Jawa Barat.

Dua Kurikulum
Saat ini, SDN Polisi 4 melaksanakan dua kurikulum sekaligus, yakni Kurikulum 2006 untuk kelas 2 dan kelas 6, Kurikulum 2013 untuk kelas 1, kelas 3, kelas 4, dan kelas 5. Khusus untuk kelas enam yang masih akan menggunakan ujian berbasis kurikulum 2006, ada strategi yang diterapkan di SDN Polisi 4. Dalam proses pembelajaran, selain menggunakan kurikulum 2006, siswa juga mencoba menerapkan metode pembelajaran Kurikulum 2013. Sistem penerapannya adalah, pada pukul 07.00 – 10.00 wib pembelajaran menggunakan Kurikulum 2013, setelah waktu istirahat, pembelajaran menggunakan metode Kurikulum 2006. Setelah pukul 13.00 wib hingga pukul 14.30 wib siswa mencoba untuk mengerjakan drill soal yang telah disiapkan. “Kurikulum 2013 ini cukup bagus karena kurikulum ini melatih siswa untuk menyelesaikan permasalahannya secara mandiri melalui pembelajaran yang kritis, kreatif, dan inovatif,” kata Taufik Hidayat, M.Pd, guru kelas 6 di SDN Polisi 4.

Metode pembelajaran yang mengkombinasikan dua kurikulum ini menurut Taufik tak memberikan banyak kendala, bahkan berjalan cukup efektif karena terbukti siswa-siswi di SDN Polisi 4 Bogor memiliki kesiapan prima dalam menghadapi ujian nasional. Di setiap kali kegiatan try out yang diadakan pihak lain di luar sekolah, banyak siswa SDN Polisi 4 yang meraih nilai tertinggi. “Selain itu, dari tahun ke tahun, hampir 80% siswa di SDN Polisi 4 melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri,” tambah Taufik lagi.

Selain pengembangan dan peningkatan kegiatan akademik, siswa di SDN Polisi 4 juga berkesempatan mengembangkan minat dan bakat mereka melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Telah tersedia sekitar 14 macam kegiatan ekstrakurikuler yang dapat dipilih dan diikuti siswa sesuai minat dan bakat mereka. Bahkan ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang melihatkan peran serta orangtua siswa, seperti basket, science IPA, futsal, dan marching band. SDN Polisi 4 menyadari bahwa potensi orangtua siswa pun dapat digali dan dimanfaatkan untuk membina sekolah supaya lebih banyak melahirkan anak-anak yang berprestasi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemetaan sumber daya orangtua untuk mengetahui potensi apa saja yang bisa dimanfaatkan demi mengembangkan program kegiatan sekolah.

Salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat wajib adalah Pramuka. Dalam kegiatan Pramuka, acapkali diadakan pula kegiatan-kegiatan kreatif maupun pembinaan inspiratif yang dibimbing oleh berbagai narasumber, tak terkecuali dari orangtua siswa. Kegiatan Pramuka maupun kegiatan ekstrakurikuler lain ini biasanya dilaksanakan pada hari Sabtu.

Selama menjadi pemimpin di SDN Polisi 4, Yayah Komariah tak pernah lelah dalam memotivasi para siswa dan mengajak para guru untuk bahu membahu meningkatkan kualitas sekolah dan mengembangkan karakter siswa. Kegiatan pengembangan tak hanya dilakukan di program akademik saja, namun juga di program-program nonakademik dan pendidikan karakter. Yayah dikenal sebagai sosok yang cukup tegas, namun sangat kreatif, inovatif, dan pantang menyerah. Misalnya, dalam pembelajaran, Yayah tak pernah absen dalam memeriksa RPP guru sebelum mengadakan pembelajaran di kelas. “RPP-nya harus jelas supaya saya tahu seperti apa metode pembelajarannya, bagaimana Paikemnya, dan sebagainya,” katanya.

“Bu yayah itu adalah sosok pemimpin yang visioner, tegas, berani, dan betul betul punya target. Kadang beliau memang keras, tapi kami semua memahami bahwa tujuan beliau baik. Sikap beliau seperti kerasnya sikap ibu terhadap anaknya, penuh kasih sayang dan beliau cenderung bisa melihat kelebihan dari setiap tiap guru,” kata Syarifah Yuniarti, S.Pd., salah satu guru di SDN Polisi 4.

Sementara itu, Aluh Atikah, M.Pd., yang juga adalah guru di SDN Polisi 4 berkomentar bahwa Yayah adalah sosok yang patut menjadi tauladan bagi siapa saja. “Beliau juga banyak memberikan ilmu tentang adiwiyata, yang ternyata sangat bagus ketika kami menerapkannya. Sekarang, bahkan tiap-tiap kelas di SDN Polisi 4 tertata dengan sangat menarik dan menyenangkan, sehingga siswa maupun guru menjadi betah untuk belajar,” katanya.

Pembiasaan Karakter melalui Jargon Singkatan
Hal yang juga menjadi fokus utama bagi Yayah adalah pengembangan wawasan lingkungan di sekolah maupun pendidikan karakternya. Melalui wawasan lingkungan dan pendidikan karakter, warga sekolah pun dimotivasi untuk senantiasa menjaga lingkungan serta mengembangkan dan menguatkan karakter. Salah satu cara yang digunakan Yayah adalah dengan menggunakan singkatan-singkatan menarik, slogan, jargon, maupun ungkapan-ungkapan yang penuh semangat dalam memberikan ajakan, anjuran, atau motivasi, dan hal tersebut senantiasa diterapkan dan diulang-ulang di lingkungan sekolah hingga menjadi pembiasaan-pembiasaan positif. Harapannya, pembiasaan tersebut nantinya akan terus melekat meski di luar sekolah sekalipun. Misalnya, LISA (LIhat Sampah Ambil), LIBRA (LIhat Berantakan RApikan), LICOT (LIhat COntek Tegur), 10S (Senyum, Sapa, Salam, Sabar, Sehat, Semangat, Syukur, Sukses, Sugih, Surga), 3AS (kerja kerAS, kerja cerdAS,kerja ikhlAS), JAMU (JAga MUlut), dan sebagainya.

Bahkan berkat gerakan LICOT (Lihat COntek Tegur) terutama saat ujian, SDN Polisi 4 hingga dianugerahi sebagai sekolah yang berani jujur oleh Pemerintah Kota Bogor pada Januari 2016 lalu. “Ini bukan kompetisi, melainkan kebijakan Bogoh ka Bogor melalui budaya jujur. Membina anak-anak supaya menjadi generasi yang jujur dan tidak korupsi itu dimulai dari sekolah. Aplikasinya antara lain dengan menerapkan konsep LICOT.

Cara demikian telah terbukti cukup efektif dalam membentuk karakter siswa menjadi seperti yang diinginkan. “Saya sudah membuktikan sendiri saat melihat anak saya. Ketika melihat sampah di jalan, secara otomatis dia segera mengambil sampah tersebut. Dengan hasil seperti ini, saya merasa puas dengan kinerja dan kualitas SDN Polisi 4 yang mampu membantu  orangtua dalam mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang baik dan berkarakter seperti yang diharapkan,” kata Cahyadi Ermawan, SH., salah seorang orangtua siswa yang juga menjabat sebagai ketua komite sekolah.

Kendati demikian, ia juga mengatakan bahwa seyogyanya orangtua menyadari bahwa dalam mendidik anak, sekolah dan orangtua harus selalu sinergis. Orangtua tidak boleh melimpahkan 100% tanggung jawab mendidik anak pada sekolah, terlebih sebenarnya waktu anak lebih banyak dihabiskan bersama keluarga di rumah. “Orangtua harus senantiasa memantau anak. Apa yang sudah didapatkan di sekolah harus dapat pula diterapkan di rumah supaya karakter yang ditanamkan di sekolah tetap terpakai. Selain itu, orangtua juga harus menjadi teladan supaya anak lebih mudah mengerti,” kata Cahyadi.

Aluh Atikah, M.Pd., guru kelas 1 di SDN Polisi 4 pun mengatakan bahwa di sekolah, guru harus menjadi role model bagi siswa-siswanya, dan itu harus dilakukan secara konsisten dan kontinyu. Dengan jargon-jargon, menurut Aluh penanaman karakter menjadi lebih mudah karena siswa langsung mengaplikasikannya dan tidak sekadar dihafalkan. Hanya perlu pembiasaan yang berulang-ulang supaya karakter tersebut tetap tertanam pada anak.

Sebagai guru yang mengajar kelas 1, Aluh justru merasa sangat menikmati proses mengajar dan menanamkan karakter pada anak. “Bagi saya, mengajar anak kelas rendah itu bukanlah sebuah kesulitan, melainkan sebuah kenikmatan dan kesenangan. Saya paling menikmati mengajar anak kelas 1 karena kelas satu adalah awal perubahan mindset anak dari masa peralihan TK ke SD. Apabila anak-anak sudah bisa melakukan apa yang kita inginkan, maka disitulah kebahagiaannya,” ujarnya.

Menurut Aluh, guru kelas 1 harus benar-benar membentuk penampilan yang membuat nyaman anak. “Pada hari pertama anak kelas 1 masuk kelas, kalau tidak ada yang menangis berarti sebuah prestasi bagi saya.Tidak mudah untuk mencapai kondisi demikian. Biasanya, kalau satu anak menangis, maka dia dapat mempengaruhi yang lainnya. Hal itu sudah biasa terjadi. Di sisi lain, orangtua tidak boleh menunggui anaknya. Mereka benar-benar harus mempercayakan anak mereka pada guru meskipun anaknya menangis sekalipun, karena guru adalah pengganti orangtua di sekolah,” jelas wanita kelahiran Bogor, 12 Oktober 1972 ini. 

Dalam pembelajaran di kelas 1, Aluh mengaku bahwa ia tak pernah memaksa anak untuk harus bisa membaca atau menulis. Menurutnya, anak-anak memiliki masa mereka masing-masing, sehingga seiring berjalannya waktu, ketika sudah tiba saatnya, mereka pasti akan mampu membaca dan menulis. Meski demikian, ia tetap memfasilitas anak-anak yang mau belajar membaca dan menulis.

Sementara itu, Syarifah Yuniarti, S.Pd., yang juga adalah guru kelas 1 di SDN Polisi 4 mengatakan bahwa guru harus memahami bahwa setiap anak memiliki karakter yang unik dan berbeda-beda. Oleh karena itu, guru harus benar-benar mengenal siswa-siswanya. “Untuk memasuki dunia mereka, kita harus mengikuti pola mereka dulu supaya mereka betul betul merasa nyaman dengan kita. Jika kita sudah berada di dunia mereka, maka kita akan mudah untuk menanamkan karakter. Itulah salah satu cara pendekatan pada anak,” terangnya.

Guru yang telah mengajar di SDN Polisi 4 ini juga mengatakan bahwa pendekatan guru terhadap orangtua siswa sangat penting, tak hanya sebatas di buku penghubung saja. “Saya cukup intensif dalam berkomunikasi dengan orangtua siswa, terlebih jika siswa tersebut memang membutuhkan perhatian khusus. Biasanya melalui sms, telepon, atau tatap muka. Setiap hari Sabtu, ketika anak-anak diantar orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, saya menyediakan waktu untuk membuka komunikasi dengan orangtua mengenai siswa atau anak mereka,” jelasnya.

Yuni, demikian ia akrab disapa, pernah memiliki pengalaman yang unik selama mengajar di SDN Polisi 4. Salah seorang siswanya di kelas 1 pada setiap pembelajaran di pagi hari selalu tidur, hingga pukul 09.00 wib ia  baru bangun dan dapat mengikuti pelajaran dengan baik seperti anak-anak lainnya. Usut punya usut, rupanya rumah anak tersebut cukup jauh dari sekolah sehingga ia harus bangun pagi-pagi sekali, dan hal itu membuatnya capek dan masih mengantuk. Terlebih ia masih baru masuk di kelas 1, masih mengalami masa transisi setelah dari bangku TK. Dengan kondisi demikian, Yuni membiarkan saja anak tersebut tidur karena ia tahu kalaupun anak dipaksa untuk bangun dan mengikuti pembelajaran, maka ia tidak akan sukses menyerap ilmu. Namun menurut Yuni hal tersebut tidak berlangsung selamanya, karena lambat laun si anak dapat mengikuti pelajaran di pagi hari dan tidak tidur di kelas lagi.

Di SDN Polisi 4, guru dituntut untuk selalu menggunakan Paikem (pembelajaran aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) dalam kelasnya. Dengan Paikem, terbukti anak lebih antusias dalam belajar, komunikasi antara guru dan siswa menjadi lebih dekat, dan tujuan pembelajaran pun tercapai. Taufik Hidayat, M.Pd., guru kelas enam yang sudah berada di SDN Polisi 4 selama 26 tahun mengatakan bahwa seyogyanya guru tak boleh memaksakan suatu pembelajaran pada anak. “Kadangkala ada guru yang memunculkan sosok karakter diri  yang berkuasa dan memaksa anak untuk harus selalu menurut dengan dalih disiplin. Tapi menurut saya ini bukan disiplin, tapi meneror. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk dapat membuat anak didiknya menjadi sesuai yang diharapkan tanpa harus memaksa mereka. Ini tergantung dari kreatifitas guru saja,” tuturnya.

Taufik memberi contoh, penanaman kedisiplinan bahkan bisa dilakukan melalui permainan yang mengasyikkan. Misalnya dengan membuat permainan menulis status di papan tulis seperti yang biasa dilakukan di media sosial seperti facebook atau twitter. “Guru bisa menciptakan permainan ini, yakni dengan membuat template seperti media sosial, tapi di papan tulis. Hanya anak yang datang awal di kelas yang berhak menulis status, sedangkan anak lainnya bisa memberi like atau komentar. Cara seperti ini ternyata membuat anak sangat bergairah dan termotivasi untuk berangkat lebih pagi ke sekolah hanya supaya dapat menulis status di papan tulis. Nah, ini merupakan salah satu contoh membuat anak tidak terlambat. Mencegah keterlambatan anak bukan harus dengan cara memaksakan disiplin kita, tapi dengan merancang satu proses pembiasaan yang dibarengi dengan kesenangan anak-anak. Ketika anak merasa senang, dia tidak akan merasa keberatan dengan tujuan kedisiplinan yang sebenarnya kita masukkan,” kata ayah empat anak ini.

Demikian pula dalam menggalakkan budaya lingkungan, menurut Taufik, tak melulu harus memaksa anak untuk melakukan kegiatan penghijauan di sekolah, namun dengan menjadikan anak ramah terhadap lingkungannya. Ia menegaskan bahwa kemerdekaan anak adalah modal terbesar untuk melahirkan generasi bangsa yang unggul. Sekolah dasar sebagai pijakan awal harus benar-benar menjaga dan memelihara kemerdekaan anak, membuat anak senantiasa ceria dan menyenangi sekolah, karena biasanya kenangan yang paling membekas pada diri seseorang adalah kenangannnya ketika berada di sekolah dasar. “Di SDN Polisi 4, kami bukan bangga pada prestasi anak, tetapi bangga karena berhasil mengembangkan potensi anak,” ujarnya.

Di SDN Polisi 4, sangat terlihat bahwa penanaman karakter menjadi fokus sekolah dalam mengembangkan potensi siswa-siswanya. Penanaman karakter tersebut dilakukan melalui rangkaian budaya sekolah yang menjadi pembiasaan. Misalnya budaya menyapa anak untuk menyapa dan bersalaman ketika masuk dan pulang sekolah, berdoa dan berbaris sebelum masuk kelas dan memulai pembelajaran, menyanyikan lagu Indonesia Raya, shalat dhuhur berjamaah, membaca di perpustakaan, dan sebagainya.

Ada pula kegiatan kultum (kuliah tujuh menit) setiap hari Jumat. Pembicaranya bisa dari guru, anak-anak, bahkan tenaga kependidikan atau penjaga sekolah sekalipun. Itupun tak harus yang beragama Islam, namun bisa pula guru agama Kristen, guru agama Hindu, dan sebagainya. “Tujuan kultum ini adalah bagaimana membuat karakter anak menjadi lebih baik. Siapapun bisa memberi nasehat, dan kita juga mengajarkan anak untuk selalu toleransi, menghargai, dan mendengarkan hal-hal baik dari siapapun orang yang menyampaikan nasehat tanpa membeda-bedakan,” kata Taufik.

Salah satu peraturan kedisiplinan di SDN Polisi 4 antara lain mengenai kebijakan siswa membawa handphone ke sekolah. Menurut Taufik, untuk anak kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 dilarang membawa handphone ke sekolah. Sedangkan untuk anak kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 boleh membawa handphone, tetapi pada saat pembelajaran wajib dikumpulkan ke guru kelas. Mereka baru boleh menggunakannya kembali ketika jam pulang sekolah. Namun demikian, acapkali handphone pun digunakan pula dalam pembelajaran dengan bimbingan guru. “Kita menggunakan handphone untuk mencari informasi dari internet, itupun kita batasi durasi pencariannya. Ini juga mengajarkan pada anak bahwa handphone juga bisa menjadi sumber komunikasi, sumber informasi, dan sumber silaturahim. Handphone dapat dimanfaatkan sebaik mungkin agar tidak menjadi kecanduan ke hal-hal negatif,” jelas Taufik.

Dalam mengantisipasi penggunaan handphone untuk hal negatif, dibentuk pula grup teman sejawat di antara para siswa yang bertugas mengawasi dan mendeteksi teman-temannya dalam menggunakan handphone untuk bermain game di saat jam-jam belajar. “Kami memberikan informasi pada anak mengenai perbedaan antara narkotika dan narkotika mata. Kami terangkan bagaimana kerja rangsangan ketika mereka melihat hal-hal buruk, karena  itu dapat berakibat merusak otak. Dengan pengertian tersebut, anak menjadi senantiasa mawas diri,” kata Taufik lagi.

Pembinaan siswa-siswa di SDN Polisi 4 memang kerap dilakukan, tak hanya dari guru maupun kepala sekolah saja, namun juga acapkali mengundang pihak-pihak yang lebih berkompeten. Misalnya dengan mengundang pihak kepolisian untuk pembinaan narkoba, kenakalan remaja, dan tata tertib berlalu-lintas, pihak puskesmas untuk masalah kesehatan, pihak bank untuk gerakan ayo menabung, dan sebagainya. Sekolah banyak menggandeng stakeholder maupun memanfaatkan CSR perusahaan untuk lebih mengembangkan program kegiatan sekolah.

Memanfaatkan Daur Ulang
Salah satu kegiatan yang cukup menarik di SDN Polisi 4 adalah kegiatan keterampilan yang memanfaatkan daur ulang. Yayah menggalakkan kegiatan tersebut dan menganjurkan pada setiap warga sekolah untuk lebih memilih menggunakan peralatan yang terbuat dari daur ulang ketimbang membeli produk yang baru. Misalnya, setiap siswa di SDN Polisi 4 memiliki map khusus yang terbuat dari plastik daur ulang sebagai tempat portofolio mereka. Demikian pula ketika membuat undangan sekolah, tempat pensil, dan sebagainya, siswa-siswa dilatih untuk mengasah kreatifitas dan memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Demikian guru sebagai role model, pun digalakkan untuk menggunakan bahan daur ulang untuk membuat peralatan pribadinya.

SDN Polisi 4 juga memanfaatkan peluang dari pengumpulan sampah dan minyak jelantah bekas pakai. Biasanya, minyak jelantah dibawa oleh siswa dari rumah jika mereka memilikinya. Minyak jelantah ini memiliki nilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan oleh BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kota Bogor untuk diolah kembali menjadi biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan Transbogor. Hasil dari tabungan minyak jelantah tersebut biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan sosial di sekolah, misalnya untuk menjenguk siswa atau guru yang sakit, sumbangan kemanusiaan, dan lain sebagainya.

Peran Serta Komite dan Orangtua
Hal yang cukup menonjol di SDN Polisi 4 adalah peran serta komite dan orangtua siswa dalam keterlibatan mengembangkan sekolah. Menurut Yayah, keterlibatan komite dan orangtua siswa pun adalah salah satu kunci bagi kesuksesan dalam memajukan sekolah. “Kalau hanya mengandalkan dana BOS dari Pemerintah, maka tidak akan berjalan dengan lancar, pun banyak yang tidak terpenuhi. Namun dengan peran serta komite maupun orangtua, sekolah menjadi lebih kreatif dan mandiri,” terang Yayah.

Meski demikian, keterlibatan orangtua tak harus dengan cara menarik kontribusi pada orangtua, melainkan juga dengan cara-cara kreatif dan peran serta para stakeholder. Pemanfaatan CSR dari perusahaan-perusahaan dioptimalkan sebaik mungkin. Di sini, acapkali orangtua maupun komite kerap membantu dalam menghubungkan antara pihak CSR perusahaan dengan sekolah atau membantu dalam hal menyiapkan proposal sekolah. Sekolah juga berupaya menjalin kemitraan dengan berbagai institusi yang dapat membantu mengembangkan program sekolah, misalnya Perpustakaan Nasional, Badan Lingkungan Hidup Kota Bogor, Dinas Kebersihan Kota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor, LIPI Bogor, Kepolisian Wilayah Bogor, PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, UPT Puskesmas Gg. Aut, dan sebagainya. Sekolah pun aktif menciptakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan berbagai elemen, institusi, hingga pihak orangtua itu sendiri.

Pada komite sekolah, Sekolah selalu terbuka dan transparan dalam mengemukakan berbagai kebutuhan maupun program-program kegiatan sekolah. Setiap kali tahun ajaran baru, Sekolah selalu menyosialisasikan rencana program kegiatan siswa kepada para orangtua, kebutuhan-kebutuhan yang sekiranya membutuhkan support dari orangtua, namun juga terbuka dengan berbagai masukan dan usulan. “Saya selalu proaktif. Setiap rencana program kegiatan sekolah saya komunikasikan dengan berbagai lini, seperti guru, tenaga kependidikan, orangtua dalam paguyuban kelas, maupun komite sekolah. Kami mengandalkan kerja teamwork dan partisipasi dari berbagai lini sehingga menghasilkan banyak manfaat bagi sekolah,” kata Yayah.

Salah satu kegiatan kreatif yang melibatkan teamwork antara lain ketika mengadakan kegiatan menata/menghias kelas. Siswa dan orangtua berbondong-bondong bahu-membahu mempercantik kelas dengan segala upaya. Misalnya orangtua mengecat kelas dan bangku kelas, anak-anak menyiapkan dekorasi kelas. Semua kebutuhan diupayakan secara swadaya namun dengan penuh keikhasan dan keriangan. Berkat kegiatan tersebut, kelas menjadi rapi dan cantik, anak-anak senang dan betah belajar di kelas, orangtua pun puas dengan hasil belajar anak yang rupanya semakin meningkat.

Budaya Sunda dalam Muatan Lokal
Salah satu hal menarik di SDN Polisi 4 adalah nuansa budaya Sunda yang digalakkan dan dilestarikan dalam lingkungan sekolah. Selain memiliki manfaat positif, yakni mengenalkan anak pada warisan leluhur dan identitas bangsa, juga menjadi kebijakan Pemerintah Kota Bogor yang wajib diterapkan di tiap-tiap sekolah di Kota Bogor. Muatan lokal tersebut bisa diterapkan dalam budaya sekolah maupun mengintegrasikannya dalam kurikulum pembelajaran sekolah.

Di SDN Polisi 4 Bogor, budaya Sunda tersebut dilestarikan melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti tari tradisional, seni suara, seni alat musik kecapi, seni karawitan Sunda, dan sebagainya. Pelajaran bahasa daerah yang diajarkan pun pelajaran Bahasa Sunda. Selain itu, siswa juga wajib menyanyikan lagu-lagu daerah setiap hari, yang diutamakan adalah lagu daerah Sunda. Pada hari Rabu, guru juga dianjurkan untuk memakai baju adat sunda. Kata pengantar yang digunakan di kelas pun dapat menggunakan bahasa sunda.

Menurut Kepala Seksi Kurikulum Dikdas Dinas Pendidikan Kota Bogor, Dra. Arni Suhaerani, M.Pd., Bogor saat ini sedang mengembangkan pendidikan karakter yang bersumber dari kearifan lokal budaya. Terlebih untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia dan persaingan di era MEA, visi Kota Bogor adalah mempersiapkan anak didik yang memiliki karakter kuat yang bersumber dari warisan budaya sendiri. “Kami mengembangkan Mulokdabog, yakni muatan lokal daerah bogor melalui pengembangan kurikulum. Ini merupakan pekerjaan besar bagi kami, tapi kami tetap concern disitu,” katanya.

Beberapa program dalam rangkan mengembangkan muatan lokal antara lain melalui program  Ngabogor, ngajati diri orang Bogor. Artinya, mencari jati diri orang bogor. Program ini terinspirasi dari program walikota Bogor, Bogoh ka Bogor, yang artinya mencintai Kota Bogor.

“Di era globalisasi ini, kami ingin anak kami memiliki perilaku dan jati diri. Oleh karena itu, kita siapkan kepercayaan dirinya supaya mereka memiliki jati diri yang bukan hasil adopsi dari luar negeri atau bangsa lain melainkan memang merupakan kekayaan budaya sendiri,” ujar Arni lagi.

Ia juga mencontohkan beberapa nilai budaya asing yang sebenarnya sudah ada dalam nilai-nilai warisan budaya sendiri sejak lama. Misalnya pilar Unesco, learning to do, learning to be, learning to live together yang sebenarnya sama dengan saling asah, saling asih, saling asuh. Ada juga Taxonomy Bloom mengenai ranah afektive, cognitive, psikomotorik, yang sebenarnya sama dengan nilai karasa, karaba, kacipta. “Sebenarnya kita sudah memiliki prinsip hidup yang sudah diajarkan oleh para leluhur kita. Hal-hal seperti itu harus kita gali sehingga anak didik dan bangsa kita akan kuat prinsipnya dan mau melestarikan akar budaya. Itu semua adalah karakter. Janganlah melihat keluar atau mengadopsi nilai dari budaya lain terlebih dahulu, karena sebenarnya yang lebih cocok pastilah punya kita. Nah, hal-hal inilah yang harus selalu diungkapkan pada guru-guru kita untuk mengingatkan pada anak didik kita bahwa sebenarnya kita tidak kalah dengan nilai-nilai budaya asing,” tambah Arni.

Selain itu, siswa juga bisa diajak untuk kembali mengakrabi permainan-permainan maupun kesenian-kesenian adat Sunda melalui pembelajaran, karena muatan lokal tersebut sebenarnya pun dapat diintegrasikan dalam kurikulum pembelajaran tanpa harus membuat pelajaran baru. Guru dapat berdiskusi dengan guru seni budaya atau guru bahasa Sunda saat membuat RPP untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter tersebut. Misalnya dengan permainan congklak, anak dapat dilatih mengenai kejujuran dan keterampilan berhitung. Ada pula permainan sondakh atau engklek, dimana anak bisa belajar keseimbangan tubuh maupun penghitungan statistik. Selain itu, seni-seni budaya Sunda juga memiliki banyak sekali nilai-nilai positif dan penuh dengan ajaran filosofi yang bijak sebagai pendoman hidup. Misalnya melalui tatar Sunda atau peribahasa, tatar rucingan, lagu-lagu daerah Sunda, dan sebagainya.

Sayangnya, menurut Arni, salah satu kendala yang dihadapi adalah masih sulitnya mencari sumber-sumber yang mencukupi untuk membuat pedoman bagi guru. Oleh karena itu ia berharap Pemerintah Kota segera tanggap dalam melihat kendala-kendala tersebut supaya kearifan lokal budaya Sunda tak segera hilang ditelan modernisasi. Hal  tersebut bisa diatasi dengan kerjasama bahu membahu antara pihak pendidikan dengan budayawan atau seniman Bogor. “Kami sudah sosialisasikan itu melalui berbagai kegiatan, antara lain kegiatan MGMP guru. Kami petakan materi dan pengintegrasiannnya. Kami ingin memperkaya proses pembelajaran guru dengan berbasis kearifan lokal, tetapi tanpa membebani guru,” katanya.

Sejauh ini, menurut Arni, implementasi muatan lokal dalam pembelajaran dan budaya sekolah di Kota Bogor sudah cukup baik. Terutama di SDN Polisi 4 Bogor, yang memang kerap menjadi sekolah rujukan karena prestasinya. Arni berharap sekolah-sekolah lain pun tak kalah dengan SDN Polisi 4, terutama dalam prestasi maupun pengembangan karakter dan pelestarian budaya daerah.

Maryadi, S.Pd., pengawas SD di Kota Bogor pun sependapat dengan Arni. Ia juga mengatakan bahwa SD Polisi 4 adalah sekolah yang sarat prestasi. Setiap kali mengikuti event apapun selalu mendapatkan juara. Yang membuat SDN Polisi 4 selalu berprestasi menurutnya adalah karena sumber daya manusia di SDN Polisi 4 di atas rata-rata, baik dari segi pengetahuan, ketrampilan, maupun profesionalismenya. “Peran kepala sekolah juga luar biasa. Bu Yayah itu kaya akan ide dan bisa diterapkan dengan sukses. Dia berangkat dari SD kecil yang dapat membuatnya berprestasi, kemudian pindah ke SD besar dan ternyata juga bisa membawa SD ini ke tangga kesuksesan. Dia adalah sosok yang multitalenta,” kata pengawas yang ternyata sudah memiliki 2 cucu ini. Ia juga mengatakan bahwa sejauh ini komunikasi antara pengawas dan kepala sekolah sangat baik dan harmoni.

Ke depan, SDN Polisi 4 Bogor ingin lebih mengepakkan sayap semakin tinggi, berprestasi lebih banyak, dan terutama menginspirasi sekolah-sekolah lain maupun masyarakat secara luas untuk terus bersemangat menjadi lebih baik dengan cara yang inovatif, kreatif, dan mandiri.***


Ditulis tahun : 2016
Diterbitkan di Buku Profil SD Berkarakter, Majalah SD, Dikdas, Guru (Kemendikbud)



No comments:

Post a Comment