Bimbingan Teknis
Kurikulum 2013 Berbasis Paikem
“Ternyata ilmu-ilmunya menarik
sekali ya, Bu...” komentar Ayyub, S.Pd., Guru SD Negeri 11 Kota Sabang usai
mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) Kurikulum 2013 Berbasis Paikem. Padahal
sebelumnya, pada hari pertama Bimtek, ia sempat berkeluh kesah dan nyaris
mengundurkan diri karena merasa tidak enak badan. Pria yang sudah 28 tahun
menjadi guru ini mengidap sakit maag akut yang kadangkala menyiksa. Namun usai
pelaksanaan Bimtek, Ayyub justru merasa beruntung dang sumringah karena
terpilih menjadi salah satu peserta Bimtek Kurikulum 2013 Berbasis Paikem ini.
Banyak sekali ilmu-ilmu berguna dan inspirasi pembelajaran yang ia dapat, yang
ia yakin akan sangat bermanfaat ketika diterapkan saat ia mengajar
murid-muridnya.
Bimbingan Teknis Kurikulum 2013
Berbasis Paikem ini merupakan program tahun 2015 yang diselenggarakan oleh
Pusat Pengembangan Profesi Pendidik (Pusbangprodik), Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
(BPSDMPK-PMP), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sasarannya adalah
guru-guru yang berada di kawasan 3T (Terluar, Tertinggal, Terdepan). Pada tahun 2015 ini, Bimtek Kurikulum 2013
berbasis Paikem ini dilaksanakan di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau pada
tanggal 27 – 29 Mei 2015, Kota Sabang, Nangroe Aceh Darussalam pada tanggal 9 –
11 Juni 2015, dan Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 9 – 11 Juni
2015.
Bimbingan Teknis Kurikulum 2013
Berbasis Paikem di Kota Sabang sendiri dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota
Sabang, Drs. Misman, dan Eddy Tejo Prakoso Slamet, SH., MM., Kepala Subbagian
Tata Usaha Pusbangprodik. Sedangkan Bimtek yang diselenggarakan di Kabupaten
Mamuju, Sulawesi Barat dibuka langsung oleh Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., kepala
Pusbangprodik.
Paikem Lebih Menarik
Latar belakang diadakannya
Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 berbasis Paikem ini adalah karena konsep
pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan (Paikem) ini
dipandang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah di Indonesia. Penyusunan
konsep tersebut dilakukan sejak tahun 1998, seiring dengan semangat
desentralisasi pemerintahan. Sedangkan pengembangan, sosialisasi, dan
implementasi konsep tersebut dilakukan bersama antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota dan lembaga di bawah
naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakti UNICEF dan UNESCO maupun
beberapa Non-Government Organizations (NGO). Hingga saat ini, Paikem telah
menjadi bagian dari kebijakan peningkatan kualitas pendidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun mengingat luasnya wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka konsep tersebut mengalami
keterlambatan untuk dikenal dan diterapkan di sekolah dasar yang tersebar di
perbatasan wilayah NKRI. Selain kendala posisi geografis yang boleh dikatakan
terisolir, juga sumber daya yang dimiliki di setiap wilayah beragam. Hal ini
mendorong baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah
kabupaten/kota menciptakan strategi yang berbeda untuk wilayah berbeda dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah tersebut. Oleh karena itu,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Pengembangan Profesi
Pendidik telah menyediakan anggaran untuk memberikan bimbingan teknis Kurikulum
2013 Berbasis Paikem di wilayah tersebut dan menerapkan Paikem.
Mengkreatifkan Sabang
Majalah Profesi Guru
berkesempatan meliput pelaksanaan Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 Berbasis
Paikem di Kota Sabang. Perjalanan dimulai dari Jakarta bersama 10 (sepuluh)
orang panitia Pusbangprodik dan 4 (empat) narasumber nasional yang akan menjadi
fasilitator Bimtek. Mereka antara lain Durori, S.Pd, Guru SD Negeri 2 Kecila,
Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Suhardi, S.Pd, Pengawas TK/SD Kabupaten
Bondowoso, Jawa Timur, Eni Wahjuni, S.Pd., M.Pd., Pengawas TK/SD Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur, dan Siti Maria Ulfa, Guru SD Negeri Kebon Dalem,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Mereka adalah para narasumber yang sangat
berpengalaman dalam pembelajaran berbasis Paikem dan juga telah kerap
menyebarkan ilmunya ke berbagai pelosok Indonesia.
Kota Sabang, wilayah perbatasan
Indonesia paling barat yang memiliki gugusan pantai yang amat indah menawan
memiliki 25 sekolah dasar, 11 sekolah menengah pertama, dan 8 sekolah menengah
atas, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Dinas Pendidikan Kota
Sabang, Drs. Misman. Total ada sekitar 800-an guru dari tingkat TK hingga SMA.
“Jumlah guru SD sudah mencukupi, bahkan kita kelebihan guru untuk mata
pelajaran tertentu. Tapi jumlah guru TK malah kurang,” ungkap Kadinas
Pendidikan.
Kondisi kota seluas 153 km2
ini sudah cukup baik, dengan tata kota yang terlihat rapi dan indah, jalanan
yang hampir sebagian besar sudah mulus, serta kondisi sekolah-sekolah yang
sudah terpenuhi fasilitas primernya. Kendati demikian, Sabang dipilih sebagai
kota tempat diselenggarakannya Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 Berbasis Paikem dikarenakan
letaknya yang berada di titik paling barat Indonesia. Meski sebagian besar
penduduk bermata pencaharian sebagai pegawai, namun menurut pantauan Majalah
Forum Tendik melalui keterangan para guru, wawasan para orangtua murid masih
terbatas. Hal ini pun mempengaruhi para murid; mereka menjadi kurang
bersemangat dalam belajar di sekolah.
Sekolah-sekolah di Kota Sabang
termasuk bagian dari sekolah yang diinstruksikan kembali ke Kurikulum KTSP
(2006). Tak heran jika pengetahuan dan pemahaman para guru mengenai Kurikulum
2013 kurang mendalam, dikarenakan mereka hanya mengecap Kurikulum 2013 selama
satu semester saja. Kendati demikian, ada berbagai pendapat dan komentar
mengenai Kurikulum 2013, seperti yang diutarakan oleh Farida, S.Pd., Guru di SD
Negeri 01 Kota Sabang. “Awal mulanya, Kurikulum 2013 ini sempat menjadi beban.
Apalagi buku-buku pelajarannya datang terlambat. Orangtua siswa pun sulit untuk
memahami konsep dari Kurikulum ini karena wawasan mereka sedikit. Mereka sering
mengeluh karena mereka tidak bisa membantu anak-anak mereka dalam mengerjakan
pekerjaan rumah. Bagi guru, beban terberat adalah di penilaian,” ungkapnya.
Farida telah menjadi guru sejak
tahun 2002 dan selalu mengajar di kelas satu. Sekolah tempatnya mengajar, meski
terletak di pinggiran kota, tapi merupakan SD terfavorit se-kecamatan. Saat
ini, jumlah siswa di SD Negeri 01 Kota Sabang sebanyak 360 murid, dan jumlah
guru PNS sebanyak 22 orang.
Farida mengaku sebelumnya pernah
mengikuti pelatihan Kurikulum 2013 yang diselenggarakan di Banda Aceh. Namun
usai mengikuti Bimbingan Teknis Kurikulum 2013 Berbasis Paikem ini Farida
merasa optimis dengan pembelajaran Kurikulum 2013, dan ia pun tak sabar untuk
menerapkan pembelajaran berbasis Paikem di kelasnya.
Sedangkan Teanggor Sianturi,
S.Pd., guru SD Negeri 04 Kota Sabang juga mengaku sempat merasa kesulitan dalam menerapkan Kurikulum
2013. “Di Kurikulum 2013, wacana-wacana yang ada di tiap tema pembelajaran
sangat sedikit, dan menuntut siswa untuk mencari sendiri tambahannya, misalnya
melalui internet. Sedangkan kendala di sini, dikarenakan wawasan orangtua yang
sempit, tidak memberi kebebasan anaknya untuk berselancar dengan internet
karena takut disalahgunakan. Di samping itu, saya merasa bahwa seringkali
antara tema satu dengan tema selanjutnya sama sekali tidak berhubungan,
sehingga pengetahuan yang didapat oleh siswa menjadi kurang mendalam. Kendala
lain dari Kurikulum 2013 adalah di penilaian. Kami harus bekerja keras membuat
deskripsi untuk penilaian anak, sehingga kami justru tidak fokus dalam
mengajar,” kata ibu empat anak yang telah menjadi guru sejak tahun 1985 ini.
Di SD Negeri 04 Kota Sabang, Teanggor mengajar
di kelas lima dengan siswa sebanyak 32 murid. Sedangkan total siswa di SD
Negeri 04 Kota Sabang sebanyak 196 siswa. Menurut Teanggor, kondisi sekolahnya
sudah cukup memadai. “Hanya ruang kelasnya yang kurang, dan juga aula. Padahal
kami berencana menambah jumlah siswa,” katanya.
Sementara Zulfata, Spd., guru SD Negeri
02 Kota Sabang, berpendapat bahwa kesulitan guru-guru di Sabang dalam
menerapkan Kurikulum 2013 ini adalah dikarenakan mereka kurang diberi bekal dan
pemahaman tentang Kurikulum 2013. “Saya sendiri sebelumnya hanya mengikuti satu
kali pelatihan, itupun diadakan selama tiga hari. Jangankan kami, guru-guru
yang mengikuti pelatihan selama lebih dari 10 hari saja kadang masih merasa
bingung dengan implementasi Kurikulum 2013. Hal lain yang saya amati,
kadangkala cara pembuatan RPP yang dicontohkan oleh tutor-tutor di
pelatihan-pelatihan itu berbeda-beda, sehingga membuat kami bingung, mana yang
paling benar. Namun yang saya suka dari Kurikulum 2013 ini, tas anak-anak jadi
tidak lagi berat karena mereka hanya membawa buku sedikit. Namun yang paling
berat dari Kurikulum 2013 ini adalah di penilaian dan pengisian raport,”
ujarnya.
Zulfata telah 20 tahun menjadi
guru. Di SD Negeri 02 Kota Sabang, ia mengajar di kelas lima. Sejak kecil,
cita-citanya memang ingin menjadi guru karena ia senang bermain dan
berinteraksi dengan anak-anak. Di SD Negeri 02 Kota Sabang, jumlah murid saat
ini sebanyak 290 siswa, terdiri dari 12 rombongan belajar. Sedangkan jumlah
guru sebanyak 32 orang. “Sekolah saya cukup ramai, dan itulah yang membuat saya
betah,” ujar Pria kelahiran Banda Aceh, 10 Februari 1972 ini. Menurut Zulfata,
dalam mengajar, guru pun harus memahami psikologi anak. Jika anak sudah
terlihat bosan, Zulfata sering mengajak anak-anak ke luar kelas, bernyanyi,
atau meregangkan otot-otot sejenak sebelum kembali belajar.
Sedangkan Ayyub, S.Pd., yang
adalah guru di SD Negeri 11 Kota Sabang sempat merasa bingung dan tidak
mengerti mengapa dirinya ditunjuk untuk mengikuti kegiatan Bimbingan Teknis
ini. Pasalnya, ia adalah seorang guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga di
sekolah yang terletak di kecamatan Sukakarya ini. Namun berkat saran panitia yang
memintanya untuk tetap mengikuti rangkaian kegiatan hingga usai, pria yang
sudah 28 tahun menjadi guru ini kemudian justru merasa sangat tercerahkan
setelah menyerap banyak ilmu dari narasumber. Ia juga tak sabar untuk
menularkan ilmu-ilmu tersebut pada rekan-rekannya di SD Negeri 11 Kota Sabang.
SD Negeri 11 Kota Sabang sempat
menjadi sekolah percontohan sebelum digulirkannya Kurikulum 2013. “Sekolah saya
merupakan sekolah gugus. Jadi termasuk sekolah favorit,” kata Ayyub. Jumlah
siswa di SD Negeri 11 Kota Sabang ini sebanyak 166 murid dengan jumlah guru
sebanyak 20 orang. Menurut Ayyub, kendala yang dihadapi saat menggunakan
Kurikulum 2013 adalah karena masih banyak guru-guru yang belum ditatar dan
mengikuti pelatihan. “Mungkin kalau gurunya ditatar semua, bisa kami terima.
Saya sendiri juga belum pernah mengikuti pelatihan Kurikulum 2013,” ujarnya.
Menyerap Ilmu dari Narasumber
Namun dengan kegiatan Bimbingan
Teknis Kurikulum 2013 Berbasis Paikem ini, diharapkan ke-80 guru-guru se-Kota
Sabang yang menjadi peserta mampu menjadi pilot, terutama bagi rekan-rekannya
yang lain untuk membagi ilmu yang telah didapatkan, baik itu di lingkungan
sekolah maupun di forum KKG. Kegiatan Bimtek yang dilaksanakan selama tiga hari
berturut-turut ini telah dirancang secara sistematis dengan berbagai topik
seputar pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Materi-materi
dibawakan oleh narasumber-narasumber nasional yang telah berpengalaman di
bidangnya, baik materi maupun praktek.
Seperti Suhardi, S.Pd., salah
satu narasumber nasional yang membawakan materi karakteristik mata pelajaran.
Ia adalah seorang pengawas TK/SD dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso dan
telah kerap menjadi fasilitator pada berbagai kegiatan Pusbangprodik sejak
empat tahun lalu. Oleh karena itu, ia telah berpengalaman berjumpa dengan
guru-guru di berbagai daerah nusantara, seperti di Sumba, Sambas, Waingapo, dan
sebagainya. Sebelumnya, ia pernah meraih prestasi sebagai Juara I Guru
Berprestasi Tingkat Nasional pada tahun 1995.
Setelah selama tiga hari menjadi
narasumber bagi guru-guru SD di Kota Sabang, Suhardi berpendapat bahwa
sebenarnya sebagian besar guru-guru tersebut antusias mengikuti materi.
“Rupanya apa yang kami sampaikan itu adalah barang baru bagi mereka, sehingga mereka
antusias. Hal ini terlihat misalnya ketika saya memberi tambahan materi pada
sesi yang sudah bukan jamnya dengan menambah satu jam, ternyata mereka tidak
keberatan. Berarti materi yang saya sampaikan adalah yang mereka butuhkan,”
katanya.
Namun supaya ilmu-ilmu yang telah
diberikannya benar-benar dimengerti dan dipahami dan terasa manfaatnya,
menurutnya, yang perlu dilakukan oleh guru-guru tersebut adalah segera
mempraktekkan ilmu yang diperoleh di Bimtek ini di sekolah. “Mereka juga harus
menggerakkan kegiatan ini melalui KKG sehingga ketika mereka berkumpul, mereka
bisa mendesain RPP bersama, mendesain soal yang baik bersama, atau mendesain
lembar kerja bersama. Jadi selain mengaplikasikan ilmu di dalam kelas
pembelajaran mereka masing-masing, mereka juga membahas seluruh kajian-kajian
yang ada di KKG untuk lebih memantapkan hasil pelatihan,” tuturnya.
Menurutnya, pada umumnya karakter
guru di daerah terpencil relatif sama. Mereka berpikir pada tataran kebutuhan
yang terbatas. “Ketika mereka diajak berkreatifitas lebih tinggi, sepertinya
ada titik yang menghambat mereka. Ketika kami mencoba mengenalkan yang lebih
dari itu, mereka menganggap itu cukup berat. Nah, itulah yang kami dorong. Oleh
karena itu, selama pelatihan ini, kami menekankan pada kreatifitas. Kami
berharap materi kreatifitas dapat membangkitkan kreatifitas mereka. Kami
berharap mereka dapat mengembangkan kreatifitas di KKG. Dengan bekal
kreatifitas yang kami coba bangun lewat berbagai materi yang ada, maka
kreatifitas mereka bangkit, dan mau menambah estimasi mereka,” terang pria yang
diangkat menjadi PNS pada tahun 1979 ini.
Sementara itu, Moh. Durori,
S.Pd., narasumber yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah ini berpendapat bahwa
sebenarnya guru-guru di daerah 3T ini hanya kurang motivasi, yang menghambat
kemajuan mereka dalam mengembangkan pendidikan. “Kalau mereka sering
dimotivasi, karya mereka dihargai, dan mereka dibimbing dengan baik, mereka
juga akan bisa. Tapi kalau guru terus-terusan melakukan rutinitas, mereka akan
merasa bosan. Jika mereka terus berkreativitas dengan tujuan untuk membuat anak
lebih senang dalam belajar, maka akan ada kontak batin dengan anak. Dengan
demikian, lambat laun dia akan menikmati profesinya,” kata guru SD Negeri 02
Kecila, Banyumas ini.
Menurut Durori, guru-guru di Kota
Sabang cukup antusias dalam mengikuti bimtek. “Mereka haus contoh-contoh
inovasi. Mereka sebenarnya tahu, tapi mereka bingung bagaimana untuk
mengembangkannya. Disini saya melatih mereka melalui beberapa media sebagai
contoh untuk memotivasi mereka. Mereka sangat antusias karena apa yang saya
sampaikan sesuai dengan karakter anak dan sesuai dengan bidang mereka mengajar
di kelas. Bahkan salah satu guru sempat bercerita pada saya bahwa dia sudah
mempraktekkan ilmu yang didapat pada anaknya sendiri, dan katanya anaknya
sangat menyukainya. Ini membuatnya semakin tertantang dan bersemangat,”
tuturnya.
Namun demikian, menurut Durori,
ada pula guru yang masih kurang antusias dalam menerima ilmu. “Saya membedakan
karakter guru-guru di sini berdasarkan usia. Untuk kelompok guru usia muda,
terutama di kelas tinggi, mereka sangat antusias dan ingin segera mempraktekkannya.
Namun untuk kelompok guru di kelas rendah yang usianya sudah tua, antusiasmenya
kurang karena mungkin mereka merasa sudah berusia lanjut,” ungkap pria yang
pernah memenangi juara I LKG Tingkat Nasional Tahun 2001 ini.
Sedangkan Siti Maria Ulfa, S.Pd.,
narasumber yang juga adalah guru SD Negeri Kebon Dalem, Mojokerto, Jawa Timur
ini berpendapat bahwa kendala bagi guru-guru 3T adalah mereka tidak mudah dalam
menerima perubahan. “Mengeluhnya itu yang didahulukan. Misalnya,
pembelajarannya jadi repot, jadi ribet, dan sebagainya. Padahal setiap detik
ilmu itu kan berkembang. Sedangkan masa depan anak kan tidak bisa disamakan
dengan masa-masa kita dahulu. Ilmu pengetahuan juga berkembang. Pendidikan itu
tidak berubah jika perubahannya tidak dimulai di sekolah. Nah, siapa yang akan
mengubah pendidikan itu jika bukan guru?” tukasnya.
Salah satu materi yang dibawakan
Ulfa adalah mengenai Kurikulum 2013. Sejauh ini, kendala yang paling sering
dirasakan guru dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah soal penilaian, yang
dirasa memberatkan guru. Namun menurut Ulfa, hal tersebut tidak seharusnya
dijadikan hambatan, melainkan adalah tantang dalam memajukan pendidikan. “Kalau
tidak terbiasa menilai dengan deskripsi memang sangat berat. Padahal setiap
murid memiliki kemampuan yang berbeda. Nah, penilaian deskripsi itu sangat
membantu untuk pelaporan pada orangtua, sehingga orangtua tahu sampai dimana
kemampuan anaknya. Sedangkan beratnya penilaian itu bisa diselesaikan misalnya
melalui forum KKG atau berkumpul dengan sekolah yang melaksanakan K13. Di
tempat saya, forum KKG kami manfaatkan untuk menyiapkan format-format penilaian,
sehingga guru nantinya tinggal mengisi saja. Itupun setelah sebelumnya
dirundingkan terlebih dahulu dengan seluruh anggota KKG, kepala sekolah, maupun
pengawas,” terang wanita yang telah menjadi guru kelas 1 SD selama 19 tahun
ini.
Seorang narasumber lainnya adalah
Dra. Eni Wahjuni, M.Pd, yang juga adalah pengawas TK/SD di Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur. Ia telah kerap menjadi narasumber sejak tahun 2003
hingga sekarang. Telah banyak suka duka yang ia rasakan selama menjadi
narasumber. “Senangnya, kalau di level yg sama bisa bertemu dengan orang-orang
pintar, sehingga bisa sharing bersama. Tapi kalau di level seperti ini, dapat
bertemu dengan guru, kepala sekolah, ataupun pengawas merupakan suatu
kesempatan bagi saya untuk membantu. Selama ini mereka dipandang tidak mampu
atau tidak mau berubah. Tapi menurut saya bukannya mereka tidak mau berubah,
namun karena di saat mereka mau berubah, tidak ada yang membantu mereka. Untuk
itulah, pelatihan ini adalah kesempatan kami membantu semaksimal mungkin memecahkan
kesulitan-kesulitan mereka selama bertugas di lapangan,” tuturnya.
Kegiatan Bimtek Kurikulum 2013
Berbasis Paikem diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru-guru dalam
melaksanakan pembelajaran berbasis siswa aktif, tematik terpadu, dan Paikem
dalam pembelajaran. Selama tiga hari peserta mengikuti serangkaian kegiatan
yang difokuskan pada kompetensi merencanakan pembelajaran, sehingga mereka
mampu menerapkan hasil pelatihan di kelas masing-masing. Dengan bertambahnya
wawasan, mereka mengetahui dan memahami
bagaimana seharusnya pembelajaran aktif di kelas dilakukan. ***
Diterbitkan di Majalah Profesi Guru (Kemendikbud)