Profil Gurdasus : Anak Transmigran yang Berdedikasi

I Wayan Jiwi, S.Pd.
Guru daerah khusus Provinsi Gorontalo


Melihat dari namanya, siapapun akan dengan cepat menebak bahwa I Wayan Jiwi, S.Pd berasal dari Bali. Memang benar, I Wayan Jiwi lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Bali, tepatnya di Gianyar. Namun sejak tahun 1980, saat ia masih duduk di bangku kelas 5 SD, orang tuanya mengikuti program transmigrasi pemerintah, sehingga ia dan keluarga pindah ke Gorontalo. Sejak saat itu hingga sekarang, pria yang lahir pada 9 Agustus 1969 ini menetap dan menjadi warga di Gorontalo.

Sebagai warga binaan transmigrasi, Wayan mengetahui betul seluk beluk kehidupan para transmigran, termasuk suka maupun dukanya. Oleh karena itu, kemudian Wayan bertekad untuk mengabdikan diri memajukan wilayah transmigrasi melalui pendidikan.

Ayah dari lima anak ini memulai karirnya pada tahun 1992, saat ia diangkat menjadi guru PNS dengan menjadi guru kelas di SD Inpres Bahusami. Kemudian pada tahun 1995 ia dipindahkan untuk mengajar SD Inpres IV Wong Timur. Pada tahun 2006, ia diangkat menjadi kepala sekolah di SD Inpres 2 Wong Tmur, hingga tahun 2008. Pada tahun 2008, ia kembali ke SD Inpres Bahusami untuk menjadi kepala sekolah.

Banyak suka dan duka yang dialami Wayan semenjak menjadi guru di daerah khusus selama kurang lebih 21 tahun, dan juga pengalaman-pengalaman yang sangat berkesan. Antara lain, saat menuju sekolah bersama murid, ia harus melewati jalan setapak dan menyeberangi sungai.  DI sekolah ia seringkali berhadapan dengan murid-murid yang kurang memahami bahasa Indonesia, sementara Wayan sendiri tidak bisa berbahasa daerah mereka, karena ia hanya menguasai bahasa Jawa, Bali, dan Indonesia. Namun kemudian Wayan sedikit demi sedikit berusaha mempelajari bahasa Gorontalo, sehingga ia mulai bisa bercakap-cakap dengan anak-anak dan kadangkala menggunakannnya untuk mentransfer ilmu. Anak-anak pun lambat laut mulai bisa mengunakan bahasa Indonesia. 

Jumlah siswa seluruhnya ada 91 orang, yang dibimbing oleh 6 orang guru. Dari keenam guru tersebut, tiga di antaranya adalah alumni SD Inpres IV Wonggarasi Timur, yang juga termasuk mantan murid Wayan .

Sebagai daerah terpencil, letak desa Tuweya cukup jauh dari kota kecamatan, yakni sekitar 34 km. Sedangkan untuk sampai ke kota Kabupaten, harus menempuh jarak sejauh -+ 186 km. Jarak yang sejauh itu memang menjadi suatu kendala tersendiri bagi Wayan maupun warga di desa Tuweya. Ketika hendak mengurus berkas atau urusan administrasi di kota Kecamatan, Wayan harus menunggu mobil yang lewat supaya dapat menumpang. Tak jarang ia menumpang mobil yang mengangkut kayu-kayu, dan ia harus duduk di antara bongkahan kayu-kayu tersebut. Hal ini pulalah yang menjadi kendala anak-anak didiknya tak bisa mengikuti berbagai kegiatan di luar desa Tuweya. Wayan membayangkan, seandainya ada mobil inventaris sekolah, tentu anak-anak akan banyak mendapat kesempatan untuk lebih mengetahui dunia luar dan mengembangkan kiprah dan kemampuannya di bidang pendidikan.

Desa Tuweya adalah satu satu desa yang dulunya menjadi binaan transmigrasi. Kondisi geografisnya terletak di dataran tinggi dengan tanah yang cukup subur. Tanaman yang cocok dibudidayakan di sana adalah tanaman cacao ataupun cengkeh. Sedangkan mayoritas penduduk Tuweya bermata pencaharian sebagai petani. Hanya saja karena jarak tempuh yang cukup jauh antara desa ke pusat kota, maka hasil dari pertanian ini sedikit kurang memuaskan.

Selain menjadi guru, Wayan pun mencoba menggali usaha sampingan untuk menambah penghasilan, yakni dengan usaha perkebunan cacao (coklat) yang dimilikinya di atas tanah seluas -+ 2HM. Saat ini, tak lagi ada kendala yang begitu berarti, terutama dalam soal penghasilan, karena Wayan telah mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah sebesar satu kali gaji pokok.

Sejauh ini, kondisi sarana dan prasarana SD Inpres Tuweya sudah cukup baik berkat adanya bantuan pemerintah dengan program renovasi melalui dana DAK. Sementara itu, prasarananya sedikit memprihatinkan dan masih banyak kekurangan di sana-sini.

Pada dasarnya, masyarakat sekitar mendukung sepenuhnya dengan segala program kegiatan sekolah untuk anak-anaknya.

Wayan lulus menjadi guru daerah khusus berdedikasi setelah memenangi beberapa seleksi. Seleksi dari tingkat sekolah gugus mendapat juara 1, pada tingkat kecamatan juga juara 1. Setelah lulus seleksi provinsi, Wayan pun melenggang ke Jakarta demi menerima penghargaan dan melihat langsung wajah Mendikbud, hingga Presiden Bambang Susilo Yudhoyono.

Perihal ke Jakarta, ini sudah ketiga kalinya Wayan menginjakkan kaki di ibukota dan naik pesawat. Pertama kali, pada tahun 2009, yakni dalam rangka belajar agama Islam kepada beberapa ustad di tanah Jawa. Wayan adalah seorang mualaf, yang dulunya memeluk agama Hindu. Kali kedua ia ke Jakarta dan naik pesawat adalah saat menghadiri pelatihan sebagai ketua BPD Desa Tuweya, pada tahun 2010.


Ia mengaku merasa amat bahagia mendapatkan penghargaan sebagai guru daerah khusus berdedikasi dari pemerintah. Ia berharap pemerintah terus memperhatikan nasib guru-guru maupun sekolah yang ada di daerah khusus yang tersebar di berbagai wilayah pelosok di Indonesia. ***


Ditulis tahun 2013

No comments:

Post a Comment