Profil Juara : Menang Berkat Kreatifitas


Agussari Henny, M.Pd
Juara 1 Guru SMK Berprestasi Nasional 2013

Sudah kurang lebih 20 tahun lamanya Agussari Henny, M.Pd menjadi guru. Dengan pengalaman yang begitu panjang, pantas baginya untuk menyabet juara 1 dalam ajang lomba Pemilihan Guru SMK Berprestasi Nasional 2013. Sebuah penghargaan dari Pemerintah yang telah ia terima dengan penuh kebanggaan. Jerih payahnya dalam menemukan berbagai inovasi dalam mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak didiknya membuahkan hasil.


Pengalaman mengajar wanita kelahiran Ujung Pandang, 31 Agustus 1968 ini dimulai sejak ia kuliah pada semester 2 di IKIP Ujung Pandang jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat itu, ia sudah memiliki kesibukan sebagai guru honorer yang mengajar di beberapa tempat. “Ya, namanya mahasiswa cari uang tambahan dan cari pengalaman,” kenangnya. Hingga lulus kuliah tahun 1992, Henny masih meneruskan pekerjaannya sebagai guru honorer.

Baru dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1994, Henny diangkat menjadi guru pegawai negeri, dan ditempatkan di sekolah pondok pesantren, mengajar Bahasa Inggris. Naasnya, sekolah tersebut mengalami kebakaran, sehingga lokasi sekolah pun kemudian dipindahkan. Henny merasa sedikit keberatan karena letak sekolah yang baru berjarak cukup jauh dari rumah, sehingga ia mengajukan pindah ke SMKN 7 Makassar, yang lebih dekat dengan rumahnya. “Kebetulan saat itu juga ada lowongan guru Bahasa Inggris, dan kepala sekolahnya pun menerima saya,” kisahnya. Itu terjadi pada tahun 2003.

Di sekolah yang kini memiliki guru sejumlah 45 orang dan siswa sebanyak 800 anak itu Henny tetap mengajar Bahasa Inggris sesuai bidang keilmuannya. “Mengajar di SMK sangat berbeda dengan mengajar di SMA. Anak-anak yang bersekolah di SMA bertujuan untuk melanjutkan sekolah ke universitas. Sedangkan anak-anak di SMK dipersiapkan untuk mencari pekerjaan, sehingga di sekolah pun mereka dibekali dengan beberapa keterampilan,” tutur Henny menggambarkan perbedaan berdasarkan pengalamannya mengajar SMA di pondok pesantren. “Tingkat pemahaman anak-anak SMA agak lebih tinggi. Apalagi di pesantren mereka diwajibkan untuk berbahasa Inggris, sehingga mereka sudah terbiasa. Selain itu juga ada ekstra kurikuler Bahasa Inggris. Nah, kalau di SMK, mereka memang dari nol. Bahkan sama sekali nggak tahu,” terangnya. Namun ia mengaku bahwa metode pengajaran Bahasa Inggris yang ia gunakan tak terlalu jauh berbeda.

Henny pun mengungkapkan bahwa di SMK, minat para siswa pada pelajaran Bahasa Inggris sangat rendah. “Apalagi mereka memiliki tingkat ekonomi rata-rata menengah ke bawah. Motivasi mereka untuk belajar Bahasa Inggris sangat rendah, dan mereka tidak terlalu bersemangat. Bahkan awalnya mereka sama sekali tidak tertarik,” katanya.

“Tapi saya berusaha dan berpikir, bagaimana caranya untuk menjadi motivator, fasilitator, dan instruktur untuk mereka. Saya harus menemukan cara bagaimana membuat mereka betah belajar Bahasa Inggris. Apalagi di SMK, satu kali mengajar Bahasa Inggris adalah 4 jam, sehingga ini membuat  anak-anak sangat bosan. Kalau guru tidak bisa menyiasati pembelajaran, tentu anak-anak tidak tertarik dan tidak termotivasi untuk belajar,” tukasnya.

Untuk mengatasi masalah ini, maka Henny pun menyiasatinya dengan beberapa metode dan inovasi. Tak jarang ia pun menggunakan alat-alat peraga kreatif untuk menunjang pembelajaran Bahasa Inggris yang terfokus dalam empat keterampilan, yakni Reading, Listening, Speaking, dan Writing. “Kebanyakan anak-anak tidak terlalu bisa berbahasa Inggris. Untuk mengucapkan saja susah sekali, apalagi untuk berbicara. Saya mencoba menemukan cara bagaimana menciptakan metode-metode belajar sehingga mereka tertarik untuk belajar,” katanya lagi.

“Sementara di abad 21 ini, jika anak-anak memiliki keterampilan Bahasa Inggris yang bagus, maka mereka akan lebih cepat mendapat pekerjaan. Nah, ini kan menjadi satu nilai tambah bagi anak-anak. Industri-industri akan dengan cepat menerima mereka untuk bekerja,” tambahnya.

Dalam membuat alat peraga maupun permainan, Henny biasa memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar untuk didaur ulang menjadi media pembelajaran yang lebih menarik. Misalnya dengan memanfaatkan halaman-halaman bergambar menarik di majalah atau surat kabar, membuat wayang dari kertas, membuat mainan anak-anak, membuat permainan bendera, memanfaatkan CD bekas, dan lain sebagainya. “Apapun barang-barang yang tidak berguna saya jadikan media pembelajaran yang mudah dan murah untuk anak-anak,” ucapnya. 

Henny mengaku bahwa ia mulai berkreasi membuat media pembelajaran kreatif sejak sejak tahun 2010. “Alat peraga semacam bendera dapat menjadi stimulasi bagi anak-anak sebelum mereka menulis, sehingga anak-anak bisa mendapatkan kata-kata dengan mudah tanpa melihat kamus, tanpa harus bingung hendak menuliskan apa untuk melanjutkannya dalam Bahasa Inggris. Mereka juga dapat merespon dengan menulis pokok bahasan yang akan saya ajarkan,” jelasnya.

Menurut Henny, ternyata respon para siswanya cukup baik. Mereka merasa senang dan tidak bosan, serta merasakan kemudahan dalam belajar Bahasa Inggris. Bahkan metode-metode hasil inovasi Henny berguna untuk menambah kosakata mereka. “Bahkan mereka minta nambah lagi jam belajar Bahasa Inggris. Anak-anak begitu semangat, dan ini membuat saya bersyukur sekali,” ungkapnya.

Salah satu metode pembelajaran hasil inovasi Henny yang cukup menarik adalah penggunaan strategi cooperative learning dalam permainan Chain Word Flag. Metode Pembelajaran inilah yang diangkat Henny dalam karya tulisnya saat ia maju ke tingkat nasional ajang lomba guru berprestasi, hingga mengantarnya menjadi juara pertama.

Chain Word Flag
Permainan Chain word Flag adalah sebuah permainan kartu berantai dengan menggunakan metode cooperative learning. Metode cooperative learning merupakan suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama saat bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih.  Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) atau lebih. Metode pembelajaran kooperatif disebut juga metode pembelajaran gotong royong. Strategi pembelajaran ini cukup berhasil diterapkan pada kelompok-kelompok kecil, di mana pada tiap kelompok yang terdiri dari siswa-siswa dengan berbagai tingkat kemampuan melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan, tetapi juga untuk membantu rekan-rekan lainnya belajar, sehingga mereka akan bersama-sama dalam mencapai keberhasilan.

Permainan dengan menggunakan metode cooperative learning pun dapat  diadaptasikan dalam pembelajaran Bahasa Inggris, khususnya dalam permainan Chain word Flag, sehingga siswa menjadi lebih bersemangat dan tertarik untuk belajar. Agar siswa dapat berpartisipasi dalam permainan ini, maka mereka harus memahami apa yang siswa lain tulis atau sedang katakan. Mereka pun harus berbicara atau menulis supaya dapat mengekpresikan ide-ide mereka atau dapat memberikan informasi kepada yang lainnya. Dengan demikian, makna bahasa yang siswa dengar, baca, bicarakan, atau tulis akan menjadi lebih dirasakan dan lebih diingat. Permainan ini pun dapat melatih kreativitas siswa dan membuat pembelajaran terasa lebih mengasyikkan.

Keunggulan permainan Chain Word Flag adalah permainan ini memanfaatkan media yang mudah didapat dan tidak membutuhkan biaya mahal. Selain itu, permainan ini juga membentuk kekompakan siswa dalam kelompok belajar, sehingga membangun  hubungan positif antar siswa yang lain.

Untuk memulai permainan Chain word Flag, Henny harus terlebih dahulu menyiapkan tema pokok bahasan yang akan dilontarkan. Ia kemudian membagi tiap kelompok yang berisi 4 – 5 siswa, atau tergantung jumlah siswa dalam kelas. Di samping itu, Henny pun harus menyiapkan format penilaian. Kegiatan awal dapat berupa sebuah sesi tanya jawab yang berkaitan dengan pokok bahasan, misalnya tentang Future Tense. Kemudian ia memberi contoh penggunaan Future Tense melalui bentuk tulisan atau paragraf.

Permainan  Chain Word Flag ini menggunakan papan gabus. Selain itu juga menggunakan kertas berbagai warna yang digunting sama panjang berukuran 10 x 15 cm, dibentuk seperti bendera, yang kemudian diselipi pipet atau lidi. Yang harus dilakukan pada setiap kelompok dan setiap siswa adalah menuliskan satu kata  dalam satu bendera, kemudian seluruh anggota dalam masing-masing kelompok tersebut menancapkan dan menyusun kata ke papan gabus sehingga menjadi kalimat Bahasa Inggris yang lengkap. Kelompok yang paling banyak menancapkan kartu bendera yang berisikan kata-kata Bahasa Inggris itulah yang menjadi pemenang.

Pada sesi akhir, Henny mengajak siswa untuk membahas atau mendiskusikan hasil kerja setiap kelompok, kemudian memberikan refleksi dan penguatan tentang pokok bahasan tersebut. Dapat pula kemudian memberikan evaluasi dalam menulis paragraf pendek sesuai dengan tema yang Henny berikan, misalnya My Plan after graduating  SMK, My Holiday, atau tema yang lainnya.

Adapun hasil atau dampak yang dicapai melalui metode kooperatif learning dalam permainan Chain Word Flag  antara lain:
a.      Meningkatkan aktivitas belajar siswa dimana setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan, tetapi juga membantu rekan-rekannya belajar, sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua anggota kelompok berusaha menulis kata kata bahasa inggris sehingga menjadi satu kalimat.
b.     Membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara lisan  dan tulisan.
c.  Meningkatkan rasa percaya diri, rasa senang,  dan ketertarikan siswa dalam menulis bahasa Inggris.
d.  Mendapatkan pengalaman baru dalam pembelajaran Bahasa Inggris dimana siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru dan mengerjakan tugas saja, tetapi juga aktivitas lain  dalam menunjang usaha belajar.
e.     Adanya peningkatan  prestasi akademik dalam ketrampilan menulis.

Henny menyarankan pada guru Bahasa Inggris lainnya agar penggunaan metode  cooperative learning dalam permainan Chain word Flag ini dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi kebosanan dan kepasifan siswa di kelas, terlebih untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan menulis siswa.

Guru Harus Menginspirasi
Henny telah menunjukkan keberhasilannya dalam mengajak siswa-siswanya menjadi lebih antusias dalam belajar Bahasa Inggris, terutama keterampilan menulis (writing). Kreativitasnya tak pernah sia-sia. Sebelumnya, hasil karyanya bahkan pernah memenangkan juara 2 tingkat nasional pada ajang lomba yang diadakan oleh LIPI. Kendati demikian, ia pun tak segan untuk membagi ilmu pada guru-guru Bahasa Inggris yang lain tentang metode inovasinya.

Awalnya, kadang kala Henny pun mendapat cemoohan atas hal-hal yang telah dilakukannya. “Untuk apa repot-repot, toh hasilnya sama saja. Tetapi barangkali setelah melihat perubahan kemajuan pada siswa, baru mereka percaya, turut antusias, dan memiliki semangat. Bahkan dalam MGMP, saya diminta untuk menjadi pembicara di seminar-seminar, menerangkan tentang tindakan kelas sebagai guru, supaya mereka juga memiliki kemampuan,” kisahnya.

Menurut Henny, seorang guru harus selalu menginspirasi, memiliki ide-ide yang inovatif, kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sekaligus peka terhadap lingkungan sekitar.  “Sebenarnya guru adalah model bagi anak-anak. Jika guru bisa memberi stimulus serta hal-hal yang bermanfaat dan bernilai, maka anak-anak pasti tidak akan merasa bosan,” tuturnya.

Meski demikian, Henny pun menyarankan bahwa guru harus senantiasa meningkatkan diri dan kompetensinya, membuka diri untuk belajar banyak hal. “Seharusnya guru memiliki banyak pengetahuan. Karena jika guru memiliki banyak pengetahuan, tentu muridnya pun demikian,” katanya. Oleh karena itu, menurut Henny, guru seharusnya rajin mengikuti pelatihan atau seminar, supaya mendapat banyak informasi.

Dalam mendidik dan mendekati siswa di sekolah, wanita yang senang menulis puisi ini pun menggunakan pendekatan religi untuk membangun karakter anak-anak. “Biasanya saya sisipi nilai-nilai agama. Umumnya guru kan hanya sekedar memberikan Bahasa Inggris saja,” katanya. Ternyata, menurutnya anak-anak justru merasa senang, apalagi ketika Henny memberikan nasihat yang baik dan bermanfaat. Henny senantiasa menekankan bahwa kejujuran di atas segalanya. “Misalnya, dalam mengerjakan ulangan, yang saya tekankan adalah kejujuran mereka. Sekecil apapun yang anak-anak lakukan, harus kita hargai, sehingga mereka menjadi lebih percaya diri. Saya tanamkan pada mereka, bahwa nilai-nilai pembelajaran itu bukan akhir dari segalanya. Tapi yang terpenting adalah nilai sikap,” tuturnya.

Dalam lingkungan keluarga, Henny pun mengutamakan nilai-nilai religi, terutama dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. Kendati ia memiliki cukup banyak kesibukan yang berkaitan dengan profesinya, ia tak pernah melupakan perannya sebagai ibu rumah tangga yang harus merawat dan membimbing ketujuh anak-anaknya. “Anak saya yang sulung 21 tahun, perempuan, kuliah di UMI. Yang paling kecil kelas 5 SD, adalah penghapal Quran. Kakaknya yang lain, yang berada di Pesantren di Solo juga penghapal Quran,” katanya.

Aktif Mencari Informasi
Dengan memenangi lomba guru berprestasi tingkat nasional, Henny berharap bahwa keberhasilannya dapat menginspirasi yang lainnya untuk berlomba-lomba menciptakan prestasi. Ia pun berharap sekolah semakin memberi dukungan pada guru-gurunya supaya mereka semakin termotivasi.

Berdasarkan pengalaman saat sebelum mengikuti lomba, Henny aktif mencari informasi melalui internet. Kemudian ia banyak bertanya dan berbagi pengalaman dengan kawan-kawan lainnya yang pernah juara.

Sebenarnya sejak tahun 2011, Henny sudah berniat untuk mengikuti ajang lomba guru berprestasi. Namun karena kesibukan dan berbagai hal, maka Henny baru benar-benar memiliki kesempatan pada tahun 2013. Mengenai persiapan mengikuti lomba, Henny mengatakan bahwa guru harus senantiasa aktif mencari informasi dan mempersiapkan diri. “Kita harus punya kemauan, karena terus terang banyak guru yang berpikir bahwa mengikuti ajang semacam ini dianggap sangat merepotkan,” katanya.

Dari kota Makassar, Henny harus bersaing dengan 13 peserta. Namun kemudian ia dapat menyisihkan semua peserta dan maju ke tingkat provinsi. Keberhasilannya di tingkat provinsi membawanya melaju ke tingkat nasional, hingga akhirnya memboyong penghargaan sebagai juara 1. Sebuah kemenangan atas hasil jerih payah yang selama ini telah Henny rajut dengan penuh kesabaran dan ketekunan. “Saya selalu berdoa semoga Allah memberi kekuatan untuk menyusun portofolio saya. Karena terus terang, saya harus pintar-pintar bagi waktu karena saya pun adalah ibu rumah tangga dengan tujuh orang anak,” kata Henny sembari tersenyum. “Kendati demikian, saya pun menyempatkan diri untuk aktif di beberapa organisasi,” tambahnya.

Istri dari seorang dosen di Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini memang sangat aktif dengan berbagai kegiatan, baik yang berkaitan dengan profesi, bisnis, maupun sosial. Kendati demikian, Henny telah berkomitmen untuk terus mengabdi di dunia pendidikan, karena itu sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. “Sejak masih duduk di bangku SD, saya sudah bercita-cita menjadi guru. Bahkan orang tua saya pun sangat berharap suatu saat nanti saya akan menjadi guru,” katanya.

Semenjak duduk di bangku sekolah, anak pertama dari tujuh bersaudara ini pun kerap meraih prestasi. Lulus SMP, kemudian ia memutuskan untuk meneruskan sekolah ke SMEA dan mengambil jurusan Tata Usaha. “Saat saya di SMEA, ada seorang  guru Bahasa Inggris yang sangat menginspirasi saya. Barangkali itulah sebabnya kemudian saya menjadi guru Bahasa Inggris, karena saya ingin sekali seperti Beliau, yang sangat lihai mengajar dengan metode pembelajaran yang begitu menarik dan mudah dimengerti. Waktu itu, nilai-nilai Bahasa Inggris saya pun selalu tinggi, sehingga Beliau memotivasi saya untuk masuk ke jurusan Bahasa Inggris saat saya akan kuliah,” cerita Henny.  
Setelah mendapat banyak hadiah dari prestasinya di ajang Lomba Guru Berprestasi, Henny berencana untuk melanjutkan studi S-3 nya untuk lebih meningkatkan kompetensi maupun kualifikasinya. Rencananya, wanita yang mengambil gelar S-2 di Universitas Negeri Makassar ini akan menyusun proposal untuk studi S-3 nya di Malaysia. “Saya mengambil program riset, sehingga saya tidak meninggalkan keluarga. Jadi hanya sekali-sekali ke sana,” katanya.

Henny pun berharap bahwa suatu saat nanti ia berkesempatan untuk menjadi pengawas supaya dapat lebih bermanfaat dan memberi motivasi pada rekan-rekan guru yang lain. “Saya percaya, dengan memberi bimbingan yang baik, maka kita akan mendapat respon yang baik pula,” pungkasnya. ***

Ditulis tahun : 2013




No comments:

Post a Comment