Profil Juara : Penginspirasi bagi Tunanetra


Fandi Dawenan 
Juara III Guru SLB Berprestasi Tingkat Nasional 2013


Lahir ke dunia, ia hanya dapat melihat kegelapan. Sampai kini ia pun tak dapat melihat terlalu jelas. Satu-satunya yang benderang di hadapannya adalah cita dan semangatnya. Fandy Dawenan, pemuda asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan ini punya tekad untuk menunjukkan pada dunia bahwa seseorang dengan kekurangan pun  punya kesempatan untuk menjadi besar, berprestasi, dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Marthen Dawenan dan Marthina Mangiwa sempat bersuka cita. Tanggal 03 Juli 1983, buah hati pertama mereka lahir ke dunia. Dokter yang membantu persalinan di sebuah rumah sakit di Makassar menyatakan bahwa bayi mereka sehat, normal, tak kurang suatu apa. Fandy Dawenan adalah nama pilihan mereka, diiringi dengan berbagai doa dan harapan cemerlang bagi masa depan si buah hati tercinta.    



Jelang usia 10 bulan, Ayah ibunya membawa Fandy mengunjungi sang nenek dan keluarga besar di kampung halaman, di Tana Toraja. Saat itulah hal ihwal kebutaan Fandy diketahui. Salah seorang sepupu ibunya menyadari bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan mata Fandy. Saat diajak bermain, mata Fandy tak merespon sama sekali. Kontan hal ini membuat panik semua orang. Orang tua Fandy pun lekas-lekas membawa Fandy kembali ke Makassar dan segera memeriksakannya ke dokter. Hasil diagnosa menyatakan bahwa terdapat katarak pada mata Fandy, yang menjadikannya buta.  

Menjual Motor demi Operasi
Orang tua Fandy merasa shock dan terpukul. Sedih dan panik, terlebih ketika dokter menyarankan supaya Fandy lekas dioperasi demi menyelamatkan penglihatannya. Masalahnya, orangtua Fandy tak punya persiapan dana cukup untuk mengatasi musibah yang tak disangka-sangka itu. Saat itu, ayah Fandy masihlah berstatus sebagai mahasiswa di sebuah universitas di Makassar dengan pekerjaan yang tak tetap. Uang pas-pasan, bahkan untuk tinggal pun mereka masih menyewa sebuah kamar kos yang sempit.

Namun seperti  laiknya orangtua manapun di muka bumi, orangtua Fandy pun rela melakukan apa saja untuk kesembuhan putranya. Jalan satu-satunya, motor yang seharusnya menjadi tumpuan hidup pun terpaksa dilego demi mendapatkan uang sebesar 700 ribu sebagai biaya operasi mata.

Usai menjalani operasi, ternyata mata Fandy masih tak dapat melihat seperti layaknya mata normal. Mata kanan memiliki penglihatan yang lebih bagus daripada mata kiri, yang masih sama sekali tak dapat melihat. Walau bagaimanapun, orangtua Fandy merasa bersyukur karena setidaknya keadaan Fandy sekarang menjadi lebih baik daripada tidak bisa melihat sama sekali. Pun juga bersyukur karena kedua adik Fandy yang lahir setelahnya tak mengalami kebutaan.

Pada tahun 1988, ayah Fandy diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Sorong, Papua. Maka ia pun memboyong seluruh keluarga untuk pindah ke Sorong. Waktu itu Fandy berusia lima tahun. Ia memakai kacamata minus super tebal. Awalnya ia sempat merasa jengkel karena kerap diledek oleh teman-teman sepermainannya. Namun lama kelamaan Fandy belajar untuk tak menghiraukan, berusaha untuk tetap bercaya diri.

Usia enam tahun, Fandy masuk ke Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) di kota Sorong, belajar bersama di kelas untuk anak tunanetra. Usia 13 tahun, orangtuanya memutuskan untuk memindahkan Fandy ke Makassar demi melanjutkan sekolah ke SMPLB, karena pada waktu itu masih belum tersedia SMPLB di Kota Sorong.

Mengabdi untuk Almamater
Fandy terdaftar sebagai siswa di SLB-A YAPTI (Yayasan Pembinaan Tuna Netra Indonesia), Makassar, sebuah sekolah khusus anak-anak berkebutuhan khusus dengan tuna netra. Ia juga harus tinggal di asrama sekolah yang disediakan. Kendati demikian, ia tak terbebani dengan uang sekolah karena sekolah menggratiskan biaya pendidikan, meski menerima donasi dari masyarakat ataupun wali murid.

Namun menginjak SMA Fandy terpaksa harus melanjutkan ke sekolah umum, yakni di SMA Protestan Makasssar, karena pada waktu itu SLB-A YAPTI hanya menyediakan pendidikan tingkat SD dan SMP saja. Kendati demikian, sungguh baik kebijakan sekolah karena masih memperbolehkan murid yang lulus untuk tetap tinggal di asrama. Maka Fandy pun tetap tinggal di asrama SLB-A YAPTI sembari menempuh pendidikan SMA. Beruntung ia karena tak mendapati kesulitan berarti saat belajar bersama anak-anak normal lainnya di sekolah umum.

Setamat SMA tahun 2002, pria yang hobi menyanyi ini pun melanjutkan pendidikannya di Universitas 45 Makassar Jurusan Sastra Inggris. Tahun 2004, ia bahkan sudah mulai mencoba membantu mengajar di SLB-A YAPTI, sebagai bentuk rasa terima kasihnya karena masih diperbolehkan tinggal di asrama, sekaligus karena ketulusannya ingin membangkitkan semangat dan memotivasi adik-adik kelasnya. Saat itu Fandy sudah memiliki kemampuan di bidang komputer sehingga ia pun dipercaya mengajar komputer.

Tak terlalu sulit bagi Fandy mengajar anak-anak tuna netra. Empati dan pengalamannya memudahkannya untuk berinteraksi dengan siswa-siswanya. Meski demikian, Fandy mengungkapkan bahwa anak-anak tuna netra selalu memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap segala hal. “Kadang-kadang apa yang tidak terpikir oleh kita pun mereka tanyakan,” katanya. Salah satu kenangan lucu yang masih diingatnya adalah ketika ia menjelaskan tentang komputer yang dapat dijangkiti virus, murid-muridnya sempat bergidik khawatir karena takut tertular, mengira bahwa virus komputer seperti halnya virus yang dapat menjangkiti tubuh manusia.

Menjadi Instruktur Tunanetra Se-Asia Pasifik
Hari-hari Fandy senantiasa aktif dengan berbagai kegiatan keorganisasian maupun pelatihan. Sekolahnya banyak membantunya mencarikan berbagai informasi yang sekiranya dapat ia ikuti. Salah satunya, ia berkesempatan untuk mengikuti seminar dan pelatihan hingga ke Malaysia. Fandy mulai merambah dunia internasional. Melalui berbagai sponsor, ia berkesempatan mengikuti berbagai kegiatan ke berbagai negara, antara lain ke Malaysia, Thailand, Singapura, Jepang, dan Australia. Ia pun bahkan sempat dipercaya menjadi instruktur komputer tuna netra se-Asia Pasifik sejak tahun 2012 sampai sekarang. Setiap tahun ia mengajar ke Malaysia saat musim libur di sekolah tempatnya mengajar. Di Malaysia, jadwalnya mengajar adalah selama satu bulan. “Kalau saya tidak menjadi tuna netra, mungkin justru saya tidak akan mendapatkan berbagai kesempatan yang luar biasa ini,” ujarnya dengan penuh rasa bangga.

Menjadi Guru SLB Berprestasi
Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi Fandy adalah ketika ia berhasil menyabet gelar Juara III Guru Pendidikan Khusus Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2014. Tak pernah ia sangka sebelumnya bahwa ia akan mendapat pengalaman bersalaman dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan melihat langsung Presiden, mengikuti upacara 17 Agustus di Istana Negara. Ditambah lagi dengan berbagai hadiah yang membuatnya amat bersyukur.

“Di sana banyak yang heran ketika melihat saya yang tunanetra menjadi guru pendidikan khusus, karena umumnya guru pendidikan khusus adalah orang normal. Namun saya justru merasa bangga karena dengan demikian saya dapat menunjukkan bahwa inilah saya, yang adalah produk SLB yang juga punya harapan dan kemampuan untuk mengabdi dan bermanfaat, bahkan berprestasi, tak kalah dengan mereka,” tuturnya lugas.

Saat ini, Fandy mengajar di SMPLB dan SMALB YAPTI. Ia pun masih setia tinggal di asramanya. Hatinya telah mantap memutuskan untuk terus mengabdi menjadi guru bagi anak-anak tunanetra. Ia berharap keberhasilan dan kesuksesannya dapat menjadi inspirasi bagi yang lainnya, terlebih bagi mereka yang tunanetra, bahwa siapapun tanpa terkecuali punya kesempatan untuk berprestasi dan berguna bagi nusa dan bangsa. ***

Ditulis tahun 2013
Diterbitkan oleh Majalah Dikmen (Kemendikbud)




No comments:

Post a Comment