Drs. Edy Susilo, M.Pd.
Juara 1 Pengawas
Berprestasi Nasional 2013
“Banyak orang menganggap bahwa menjadi pengawas itu santai, bisa nyambi. Tapi saya justru melihat bahwa
pengawas itu tidak santai,” kata Drs. Edy Susilo, M.Pd di sela-sela ia bercerita tentang kisah hidup dan perjalanannya hingga
meraih gelar juara 1 Pengawas Berprestasi Nasional 2013. “Pengawas harus
menguasai enam kompetensi. Sementara kepala sekolah cukup lima, dan guru hanya empat saja. Jadi saya pikir nggak mungkin pengawas bisa nyambi, karena enam kompetensi harus
saya kuasai semua,” tukasnya.
Sebagai seorang pengawas di Kota Mataram, Edy telah berkomitmen untuk
mendedikasikan hidupnya pada profesi dan pekerjaannya. Bahkan ia mengatakan
siap untuk tidak kaya karena ingin fokus menjadi pegawai negeri yang baik. “Saya
mengikuti polanya pak Dahlan Iskan. Sebagai pegawai itu harus siap tidak kaya. Kalau
memang ingin kaya ya harus bisnis. Tapi
saya enggan untuk meninggalkan status sebagai pegawai negeri. Juga tidak ingin
nyambi, karena fokus saya akan setengah-setengah. Saya ingin lebih melayani
masyarakat melalui dunia pendidikan dengan lebih leluasa. Motto hidup saya, bekerja
harus dengan sepenuh hati,” tuturnya lagi.
Pria yang lahir di Ponorogo, 20 Desember 1960 ini menjadi Pengawas SMK di
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat sejak tahun 2008. Saat ini, ia mengawasi 5
sekolah dengan 40 guru. Sebuah pekerjaan berat yang ia lalui dengan suka cita
dan penuh pengabdian.
Terlihat dari namanya, Edy memang bukanlah penduduk asli NTB, melainkan
seorang perantauan dari Madiun. “Saya asli Ponorogo. Namun saat usia saya 5
tahun, bapak saya harus pindah ke Madiun karena tugas. Beliau adalah anggota
Brimob, sedangkan ibu saya hanya ibu rumah tangga biasa. Saya anak kedua dari 9
bersaudara,” tutur Edy, menceritakan latar belakang keluarganya. Karena ayahnya
adalah seorang militer, tak heran jika pola mendidik anak-anaknya di lingkungan
keluarga pun semi militer. “Warisan dari orang tua saya adalah nilai disiplin.
Dari disiplin itulah maka anak-anaknya dapat berkembang ke pendidikan yang
lebih baik,” kata Edy.
Setamat SMA pada tahun 1981, Edy melanjutkan sekolahnya di IKIP
Yogyakarta jurusan Kependidikan Teknik Mesin. Saat menjadi mahasiswa, Edy pun
cukup aktif dalam organisasi Palang Merah dan HMI. Pengalamannya dalam
organisasi ini membuatnya berpengalaman dalam bergaul dengan teman-teman dari
luar Jawa.
Tamat kuliah pada tahun 1985, pada waktu itu masih diberlakukan sistem
ikatan dinas, sehingga Edy dijamin langsung bekerja. Ini merupakan suatu
kebanggaan baginya, terutama di lingkungan asal tempat tinggalnya, dimana
seseorang yang setelah lulus dan langsung bekerja dengan ikatan dinas adalah
sebuah prestige tersendiri. “Saya memilih mengajar di SMK Mataram, karena
berdasarkan data kependudukan, Pulau Jawa sudah padat, sehingga saya harus
mengambil pilihan di luar Jawa,” kisahnya. Edy mengatakan bahwa keluarganya tak
begitu keberatan dengan pilihannya karena ayahnya yang seorang anggota Brimob
pun kerap dipindah ke mana-mana untuk mengabdi pada negara.
Saat pertama kali datang ke Mataram, Edy langsung mengontrak sebuah rumah
sederhana karena tidak disediakan rumah dinas. Padahal saat itu gajinya hanya
pas-pasan. “Gaji pertama tahun 1986 hanya sebesar 80 ribu rupiah, apalagi masih
sebagai CPNS, jadi hanya dibayarkan 80 persennya saja. Tapi Alhamdulillah cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, meski sederhana,” katanya. Edy pun mengaku tak
memiliki kendala adaptasi, karena menurutnya Jawa dan Mataram yang notabene
satu rumpun memiliki sedikit banyak kemiripan. “Tapi kalau soal makanan, lidah
Jawa cocoknya kira-kira hanya sampai Pulau Lombok,” katanya.
Oleh masyarakat setempat, Edy pun juga diminta untuk menjadi kepala SMP.
“Pagi harinya saya mengajar di SMKN 3 Mataram, dan sorenya saya sebagai kepala
di SMP swasta Al Amin,” kisahnya. Rupanya, keberadaannya di SMP ini membawa Edy
pada sebuah kisah cinta yang mempertemukannya dengan salah seorang guru agama
Islam di SMP Swasta Al Amin, yang kemudian kini telah menjadi istrinya. Edy
mengatakan bahwa istrinya adalah asli penduduk Mataram. Saat ini, istrinya mengabdi
sebagai kepala TK.
Awal tahun 2001, Edy dipromosikan menjadi kepala SMK di Kabupaten Dompu. Menjadi
kepala sekolah di Dompu rupanya membawa kisah dan pengalaman tersendiri bagi
Edy. “Dompu adalah kabupaten yang paling sulit diatur karena mereka karakternya
keras. Kalau protes biasanya suka bawa parang, dsb. Biasanya karena
terprovokasi. Tapi saya tidak pernah takut,” kisahnya. “Sekolah itu usianya
sudah 10 tahun, tapi kepala sekolahnya sudah berganti sebanyak enam orang. Saya
termasuk cukup lama, yakni selama 3 tahun. Tapi ada yang 4 tahun, walaupun
sampai pernah pingsan-pingsan. Yang
lainnya kadang hanya 6 bulan, 1 tahun, dsb, kemudian menghadap bupati untuk
mengajukan SK pindah. Resep saya, intinya harus ngalah, jangan dilawan,” sambung Edy.
Saat menjadi kepala sekolah, Edy sempat menargetkan bahwa dalam waktu 3
bulan unit produksi sekolah harus jalan. Oleh karena itu, harus ia pun
sedemikian rupa mempersiapkan perangkat, aturan, dan juga organisasinya. “Kalau
kita hanya mengandalkan pembiayaan daerah, itu nggak mungkin, karena jumlahnya
kecil. Partisipasi industri di daerah juga tak terlalu banyak, jadi kita harus
pandai-pandai memotivasi para guru supaya unit produksi atau Business Centre harus jalan,” tuturnya.
Pengawas yang Rajin
Tahun 2004, Edy diangkat menjadi Pengawas di kabupaten Dompu. Saat pertama
kali menjadi pengawas, Edy sudah cukup menikmati peran dan tanggung jawabnya.
“Enaknya jadi pengawas, kita bisa bersilaturahim dengan berbagai SMK dan
berbagi pengalaman. Pada saat saya mutasi, dan kebetulan kepala dinasnya itu
dulu sama-sama aktif di palang merah, dia tanya, ‘Gimana mas Edy, mau jadi guru atau kepala sekolah?’ Saya jawab, ‘Saya ingin jadi pengawas saja’. Menjadi
pengawas di Dompu cukup menyenangkan, karena tidak terlalu dibebani anggaran,
dan kita pun dianggap lebih, dsb,” ungkapnya.
Selama menjadi pengawas, pria yang setia dengan sepeda motor dinasnya
dalam menjalankan tugas ini senantiasa berusaha untuk disiplin, namun juga
bersikap ramah. “Kita sebagai pendatang harus tahu diri. Bahkan kalau bisa,
kita tak segan untuk minta maaf terlebih dulu,”katanya.
Pada tahun 2008, Edy dipindahkan menjadi pengawas di Kota Mataram. Sejak menjadi pengawas di Kota Mataram, Edy
merasa bahwa beban tanggung jawabnya kian besar. Bukan pekerjaan yang mudah
untuk mengawal pendidikan di Kota Mataram menuju lebih baik dan mempertahankan
citra sebagai barometer pendidikan di Provinsi NTB dalam hal kualitas
pendidikan.
Saat ini, terdapat 21 Sekolah Menengah Kejuruan; 9 sekolah negeri, dan 11
sekolah swasta. Kendati demikian, minat siswa di Mataram masih cenderung lebih senang
memilih SMA, karena sejauh ini kualitas SMK masih kerap dianggap lebih rendah
daripada SMA. “Kendala membangun SMK di luar Jawa adalah kurangnya peralatan
dan ketersediaan guru kejuruan yang kompeten. Sejauh ini, guru kejuruan banyak
berada di Jawa,” ungkap Edy.
Menurut Edy, guru-guru bidang kejuruan yang profesional di Kota Mataram
rata-rata berasal dari alumni P4TK IPA Bandung dan P4TK Kesenian Yogyakarta. “Sebagai
pengawas, kita membina dan juga memotivasi mereka, karena kebanyakan mereka
berasal dari luar Jawa. Sementara karena otonomi daerah, mereka kerap kurang
diperhatikan dari segi promosi jabatan,” kata Edy. Namun saat ini, ia
mengatakan bahwa sudah banyak guru-guru yang berasal dari Kota Mataram sendiri.
“Murid-murid kita yang terbaik kita sekolahkan hingga minimal D3, dan kemudian
kita rekrut menjadi guru di sini,” kata Edy.
Selain menjalani kesibukan sebagai pengawas di Dinas Pendidikan dan
Olahraga Kota Mataram, Edy pun cukup aktif dalam keorganisasian. Dalam
kepengurusan APSI, ia didaulat menjadi sekretaris. Selain itu, Edy pun terlibat
sebagai pengurus di Majelis Pendidikan Muhammadiyah. Di samping itu, Edy pun
aktif donor darah dan memotivasi orang lain untuk juga menjadi pendonor darah.
Baginya, menolong sesama adalah kewajiban bagi umat manusia.
Sejauh ini, kendala yang kerap dihadapi SMK di Kota Mataram adalah, kadang
kala ada guru yang tidak suka atau tidak siap dengan perubahan. “Itu sudah
biasa kita hadapi di lapangan. Strategi saya, biasanya saya ajak untuk belajar bersama-sama.
Karena bagaimanapun, guru harus selalu mengikuti dan menyesuaikan perkembangan
jaman. Meski demikian, saya tidak lantas menganggap bahwa saya itu lebih,” kata
Edy.
Persoalan anggaran sekolah kejuruan pun cukup menjadi permasalahan
tersendiri. Menurut Edy, semenjak otonomi daerah, anggaran untuk SMK justru
malah turun. “Waktu saya menjadi kepala sekolah dan hanya mengelola 6 kelas
saja saya dikasih dana operasional hingga ratusan juta. Tapi begitu otonomi
daerah, anggaran justru turun. Mungkin menyebar ke dinas-dinas lain, sehingga
bagian kita agak kecil. Oleh karena itu, kepala sekolah harus pandai-pandai
mengembangkan unit produksinya,” katanya.
Selain itu, umumnya dalam rekruitmen guru kejuruan, yang dilihat hanya
bidang otomotif saja. Padahal yang dibutuhkan semisal adalah alat berat.
“Akhirnya guru otomotif terpaksa juga mengajar alat berat, padahal dia tidak
begitu menguasainya. Mungkin secara teori oke. Tapi di kejuruan itu kan yang penting prakteknya...” keluh
Edy.
Mengenai kondisi guru-guru SMK di Kota Mataram, Edy mengatakan bahwa
jumlah guru yang ada masih kurang, namun tak terlalu banyak. “Kita perlu
mengganti guru-guru yang pensiun, kemudian menambah guru-guru yang mengikuti
perkembangan kompetensi yang sekarang. Itu yang kekurangan,” tukasnya. Edy juga
mengatakan bahwa guru-guru SMK di Kota Mataram relatif sejahtera karena mereka
adalah guru produktif. “Kami melihat bahwa guru-guru cukup produktif karena
unit produksi di sekolah jalan selesai mengajar, kemudian pada sore atau malam
harinya mengerjakan tugas-tugas melayani masyarakat. Jadi, mereka sejahtera,” tandasnya.
Siap dengan Kurikulum 2013
Selain menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengawas, Edy pun
termasuk dalam anggota tim pengembangan kurikulum di Provinsi NTB. “Titik fokus
kami antara lain bagaimana mendampingi
guru dalam menyusun RPP dan mengadakan perbaikan lewat workshop. Kalau RPP sudah siap,
guru-guru melaksanakan pembelajarannya. Di situlah kita mulai monitoring,
supervisi, atau mengadakan kunjungan, apakah RPP yang disusun dapat
dilaksanakan dengan baik di lapangan atau tidak. Kemudian kita memberikan
penilaian,” terangnya. “Dalam hal manajerial, kami langsung ke tim pengembang
kurikulum sekolah. Di situ kami bekerja sama dan berkolaborasi bagaimana
menyusun KTSP. Kita dampingi sampai mereka bisa, atau dapat pula melalui workshop,” tambahnya lagi. Salah satu
hal positif menjadi anggota tim pengembang kurikulum bagi Edy adalah membuatnya
menjadi dekat dengan LPMP, Widyaiswara, dsb. “Ini menambah wawasan saya,
sehingga saya semakin percaya diri, karena sudah mendapat ilmu,” katanya.
Menurutnya, ada beberapa SMK di Kota Mataram yang ditunjuk oleh Pusat
untuk melaksanakan kurikulum 2013 atas rekomendasi dari pengawas, yakni SMK
yang RSBI atau yang terakreditasi A. “Ada 5 SMK yang menjadi piloting project dalam melaksanakan
kurikulum 2013. Yang di bawah saya antara lain SMK 2 dan SMK 3. Kita berusaha
seoptimal mungkin sebagai orang terdepan yang mengembangkan kurikulum. Kita
optimis, karena sekolah sudah terakreditasi A. Nanti kita juga akan evaluasi,
bagaimana hasil dari piloting project
ini. Jika berhasil, nanti dapat kita tularkan ke sekolah lainnya,” terang Edy. Bahkan
Edy dapat menjamin bahwa SMK yang menjadi piloting
project akan menghasilkan output atau keluaran yang bagus.
Belajar dari Kegagalan
Pengawas yang terkenal rajin ini mengaku bahwa sebelumnya ia pernah
mengikuti ajang Pemilihan PTK Berprestasi pada tahun 2007 lalu. Namun saat itu Edy
tidak berhasil mewakili NTB di tingkat nasional, karena ia hanya berhasil
menduduki juara 2 Pengawas Terbaik Tingkat Provinsi NTB, mewakili Kabupaten
Dompu.
Setelah pindah ke Mataram pada tahun 2008, Edy meningkatkan
kualifikasinya dengan meneruskan S-2 di Universitas Negeri Mataram, Magister
Pendidikan Sains. “Saya masuk tahun 2009, lulus tahun 2012. Semuanya berjalan
dengan lancar. Banyak teman-teman yang baik dan memberi kemudahan, sehingga
sebagai rasa syukur, saya harus bekerja bersungguh-sungguh,” katanya. Setelah
merasa cukup memiliki kualifikasi, tahun 2013 Edy kembali maju di ajang Lomba
PTK Berprestasi & Berdedikasi, dan kali ini ia berhasil menyabet posisi
Juara 1 Tingkat Provinsi sehingga berkesempatan maju hingga tingkat nasional. “Saya
mempersiapkan diri untuk lomba ini selama satu tahun, misalnya dengan
melengkapi portofolio, mendokumentasikan Best
Practice, dan bukti-bukti fisik, dimana setiap pembinaan harus ada
laporan,” ungkapnya.
Dalam Best Practice yang Edy
presentasikan, ia mengangkat tema pembinaan program pendidikan
budaya dan karakter bangsa, pendidikan kewirausahaan dan ekonomi kreatif pembangunan karakter bangsa di SMK
Kota Mataram. Best Practice yang
telah diterapkannya selama menjadi pengawas di Kota Mataram ini terbukti memberi
hasil positif yang nyata dalam proses pendidikan, sekaligus mengantarnya
menjadi juara 1 pengawas berprestasi tingkat nasional 2013.
Membina Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa, Kewirausahaan, dan Ekonomi Kreatif
Menurut
Edy, mengintegrasikan
nilai-nilai karakter dan kewirausahaan ke dalam kurikulum dan program sekolah
tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena
setiap adanya kebijakan baru, yang rentan
menghadapi perubahan tersebut di sekolah adalah guru dan kepala sekolah. Alasan klasik mengapa guru dan kepala sekolah rentan
menghadapi kebijakan baru disebabkan oleh kesibukan menghadapi tugas-tugas
rutin dan menjadi beban jika harus merevisi kurikulum. Melalui kondisi ini, diharapkan ada pembinaan/pendampingan oleh pengawas sekolah melalui tindakan nyata dalam memberikan solusi
dari permasalahan yang dihadapi guru dan kepala sekolah.
Sebagai
pengawas sekolah, salah satu hal yang dilakukan Edy adalah mendampingi pendidikan budaya dan karakter,
kewirausahaan dan ekonomi kreatif di SMK Negeri 2 Mataram. Salah satu
kegiatannya antara lain dengan melakukan studi banding di SMK Negeri 1 Pengasih
Kabupaten Bantul, DIY, yang telah menjadi percontohan nasional pelaksanaan
pendidikan budaya dan karakter, kewirausahaan dan ekonomi kreatif.
Workshop atau lokakarya juga merupakan salah satu metode alternatif dalam
melakukan supervisi manajerial. Metode ini bersifat kelompok dan dapat
melibatkan beberapa kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan/atau perwakilan
komite sekolah. Untuk
mengintegrasikan materi nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa,
pendidikan kewirausahaan dan ekonomi kreatif dalam pembelajaran dan program
sekolah pada workshop tersebut, maka peran pengawas sekolah sebagai konsultan sekaligus narasumber.
Sebagai pengawas, Edy juga melakukan pendampingan pelaksanaan pengintegrasian materi
keanekaragaman pangan di SMK Negeri 4 Mataram. Ini tentu saja bukan masalah yang mudah, karena merupakan
tugas dan kegiatan baru yang harus dilakukan oleh kepala sekolah dan guru-guru untuk merumuskannya. Permasalahan
yang sering muncul dalam memulai tugas dan kegiatan baru adalah belum adanya
panduan dan contoh produk pengintegrasian materi ketahanan pangan dari sekolah
lain. Peran pengawas sekolah dalam hal ini adalah menggunakan tindakan yang konstruktif untuk membantu sekolah
dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Tindakan yang dilakukan Edy melalui Focused Group Discussion (FGD) berupa
pemberdayaan dan partisipasi stakeholder sebagai peserta diskusi (kepala sekolah, komite sekolah dan guru) dalam melaksanakan program mengintegrasikan materi
ketahanan pangan dalam kurikulum sekolah. Tujuan dari FGD adalah untuk
menyatukan pandangan stakeholder mengenai realitas kondisi (kekuatan dan
kelemahan) sekolah serta menentukan langkah-langkah strategis maupun
operasional yang akan diambil untuk memajukan sekolah. Peran pengawas dalam hal
ini adalah sebagai fasilitator sekaligus menjadi narasumber apabila
diperlukan, untuk memberikan masukan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.
Sebagai bagian dari kegiatan praktik pembelajaran
penganekaragaman pangan tersebut terdapat keputusan bersama antara pihak BKP
Provinsi NTB dan Dinas Dikpora Kota Mataram melalui pengawas sekolah bersama sekolah binaan berupa pemanfaatan
pekarangan (lahan kosong) sekolah untuk menanam tumbuhan pangan lokal non
padi-padian (ubi jalar, ketela pohon, jagung, sayur-sayuran, dan sebagainya).
SMK Negeri 4 Mataram melaksanakan praktik membuat aneka makanan berupa
pengolahan bahan makanan non beras dan non terigu menjadi jajan
yang sehat, bergizi dan aman.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan di
atas, maka sekolah uji coba harus memfasilitasi adanya kantin sehat yang
menyediakan makanan non beras dan non terigu sesuai prinsip
beragam, bergizi dan aman dikonsumsi. Untuk lebih efektifnya penyelenggaraan
kantin sehat, sekolah disarankan bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Edy juga melakukan
pendampingan pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dan ekonomi kreatif di SMK Negeri 5 Mataram. Produk desain kerajinan mutiara-emas-perak
dan batik sasambo dari SMK Negeri 5 ini sebagai salah satu contoh pengembangan
kurikulum yang berbasis produksi SMK dengan mengembangkan potensi lokal. Inisiator berdirinya
centra produksi batik ini adalah Wakil Gubernur Provinsi NTB, yang memandang bahwa SMK Negeri 5
Mataram mampu melaksanakan program SMK berbasis produksi. Batik “Sasambo”
merupakan kreasi seni batik Sasak-Samawa-Mbojo
sebagai identitas yang mewakili 3 (tiga) etnis besar asli Provinsi NTB.
Sebagai bagian dari kegiatan praktik Production Based
Training/ PBT tersebut terdapat keputusan
bersama antara pihak Pemerintah Provinsi NTB dan Kota
Mataram melalui Pengawas Sekolah bersama sekolah binaan berupa pembelajaran
praktik kejuruan yang menghasilkan barang unggulan (batik, kerajinan emas dan
mutiara, kerajinan kayu, keramik).
Pria yang hobi membaca karya-karya ilmiah ini mengatakan bahwa ia pun senang
menulis artikel ilmiah populer. Menurutnya, kegemaran menulis pun dapat
meningkatkan kompetensinya untuk menunjang pekerjaannya. “Selain itu, anak saya
ingin jadi penulis, sehingga saya harus memberi contoh. Kalau bisa, saya
berharap semua anak saya menjadi penulis. Maka itu, ketika istri saya hamil,
saya giat menulis. Sekarang ada anak saya yang menjadi penulis, dan juga
seorang jurnalis. Malah dia sudah mengarang buku di semester 6,” ceritanya.
Presentasi Best Practice Edy
selama menjadi pengawas di Kota Mataram ternyata berhasil menggugah kesan para
juri saat ia mengikuti ajang Lomba PTK Berprestasi dan Berdedikasi 2013 di
Jakarta. Tak pelak, Edy berhasil meraih juara 1 pengawas SMK terbaik tingkat
nasional 2013. “Sebenarnya saya menargetkan diri menjadi juara 3. Selama
Ramadhan kemarin, saya terus berdoa, memohon pada Tuhan. Tapi kalau juara 1
kayaknya sulit, karena saya sudah pengalaman, dulu hanya mendapat juara 2 di
tingkat provinsi. Makanya, begitu
dibacakan bahwa saya mendapat juara 1, saya kaget, seperti tidak percaya.
Terbayar sudah segala kelelahan saya. Setidaknya bisa menyingkirkan cemoohan
dan sindiran teman-teman yang biasanya suka mengatakan rajin tidak sama saja,”
tuturnya.
Bagi ayah empat anak ini, hadiah yang diterimanya berkat menjadi juara 1
Pengawas Terbaik Tingkat Nasional ini adalah hadiah terbesar yang pernah
diterimanya. “Saya ingin sedikit menambah rehab rumah,” ungkapnya dengan penuh
sukacita, mengenai rencananya pada hadiah yang telah diterimanya. ***
Ditulis tahun : 2013
No comments:
Post a Comment