Di hadapan 297 PTK berprestasi dari
seluruh Indonesia di 33 provinsi, Suryadarma, MPA., Ph.D, Direktur Pembinaan
PTK Dikmen menghimbau bahwa para guru harus lekas mempersiapkan diri untuk
menghadapi era knowledge society.
Selama kurang lebih 2 (dua) jam, ia menyampaikan paparannya mengenai guru dan pembelajaran
abad 21 di salah satu rangkaian acara pemilikan PTK Berprestasi dan Berdedikasi
Nasional 2013, yang digelar di Hotel Century pada akhir Agustus lalu.
Dalam paparannya, ia menyampaikan
bahwa guru menduduki posisi penting karena tugas guru adalah menyampaikan
pengetahuan. Di masa depan nanti, menurut Suryadarma, masyarakat yang
sebelumnya berorientasi pada industri akan berubah menjadi masyarakat yang
berpengetahuan. Jadi, untuk mewujudkan hal ini, guru harus benar-benar siap,
terutama dalam hal kualitas kompetensi.
Menurut Suryadarma, hal-hal yang
mendorong perubahan tersebut antara lain adalah adanya desakan globalisasi.
Dengan adanya globalisasi, perkembangan ICT (Information
and Communication Technology) semakin pesat. “Perkembangan ICT ini mau
tidak mau mempengaruhi kehidupan kita, misalnya adanya perubahan tenaga kerja.
Perubahan tenaga kerja ini akhirnya perlu didukung oleh perubahan; misalnya perubahan
bagaimana kita hidup, bagaimana kita bekerja, bagaimana kita belajar, dsb,” terangnya.
“Salah satu contoh adalah internet. Semua sudah serba ICT dengan jalur
internet. Internet itu sendiri mengubah cara kita bekerja, cara kita hidup,
cara kita bermain, belajar, dsb. Oleh sebab itu, saya menggarisbawahi para
guru, pengawas, kepala sekolah, tutor, dll, untuk mau tak mau menyesuaikan
terhadap bagaimana perkembangan teknologi ini di dalam cara mengajar maupun
belajar. Jadi ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi dengan adanya
perubahan,” tambahnya.
Menjadi
Negara Besar
Dalam kesempatan itu, Suryadarma juga
membeberkan survey McKenzie yang meneliti tentang 30 negara di dunia, antara
lain Jepang, Finlandia, Jerman, Korea, Singapura, Italia, Amerika, dsb; mengapa
negara-negara tersebut bisa sukses dalam kesejahteraan maupun pendidikannya.
Setelah diteliti, ternyata ada temuan yang sama di antara negara-negara
tersebut. Yakni, rupanya mereka merekrut orang-orang dengan kualitas terbaik
untuk menjadi guru; orang-orang yang punya motivasi yang bagus, punya
kompetensi, dan punya sikap yang bagus. Setelah itu, kemudian mereka mengembangkan
guru-guru berkualitas tersebut menjadi guru yang efektif, dengan melatih secara
terstruktur, sistematik, dan teratur. Dapat dikatakan bahwa di ke-30
negara-negara maju tersebut, guru menduduki peranan yang sangat penting.
Itulah perbedaannya dengan Indonesia.
Seandainya Indonesia mau mengadopsi cara-cara tersebut, tidak menutup
kemungkinan bangsa Indonesia akan lekas menjadi besar dan kuat. Selama ini,
menurut Suryadarma, bahkan perekrutan guru-guru di Indonesia acapkali
mengabaikan faktor kompetensi. Selain itu, para guru pun jarang meningkatkan
atau mengembangkan kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan. “Mungkin yang ikut
pelatihan orangnya itu-itu saja, sehingga ia tidak menjadi guru yang efektif. Lain
halnya dengan di Singapura, ada peraturan bahwa guru minimal harus mengikuti
pelatihan sebanyak minimal 100 jam dalam satu tahun – kalau karir mereka mau
naik. Demikian pula dengan di Jepang,” tuturnya.
Selain itu, menurut Suryadarma, guru
pun harus dijamin kesejahteraannya, dan ketika mengajar, mereka bebas
mengekspresikan apa yang mereka kembangkan dan inovasikan. Namun kendala yang
kerap dihadapi di Indonesia, terutama di daerah otonomi, iklim sekolah maupun iklim
daerah acapkali tidak memfasilitasi perkembangan mereka.
Fakta lain, menurut hasil data dari
PISA, dalam tes IPA dan matematika, anak-anak Indonesia acapkali hanya dapat
mengerjakan tes dengan tingkat kesulitan di bawah level satu – sementara
anak-anak Jepang atau Korea bahkan dapat mengerjakan tes dalam level 5 – 6, yakni
level yang paling tinggi. Suryadarma menyebutnya sebagai sebuah tantangan.
“Mengapa kita selalu jauh tertinggal? Karena soal PISA lebih banyak problem solving dan critical thinking. Sedangkan pembelajaran kita lebih banyak pada
hapalan. Sehingga inilah kesulitan kita paling utama yang dihadapi siswa kita.
Tantangan kita, bagaimana meningkatkan kemampuan problem solving dan critical
thinking pada siswa-siswa kita,” kata Suryadarma.
Suryadarma menyarankan supaya para
guru mengurangi gaya pembelajaran yang bersifat menghapal atau memorizing. Menurutnya,
kemampuan ini sudah tak lagi cocok untuk pembelajaran abad 21. Selain itu,
struktur kelas pun seharusnya sudah mengalami perubahan, setidaknya seperti di
Singapura, dimana siswa duduk berempat-berempat dan berkolaborasi.
Dari tahun 2007 hingga 2011, menurut
Suryadarma, pencapaian anak-anak Indonesia dalam mengerjakan soal PISA selalu
konsisten. Empat tahun kemudian, walau ada perbaikan, tetapi tetap masih belum
mampu naik ke level tinggi, apalagi menyaingi Singapura, yang sudah sangat luar
biasa dalam prestasi belajar internasional.
Wajar Dikmen
Kendati demikian, menurut Suryadarma,
Indonesia masih memiliki kesempatan emas, dikarenakan Indonesia akan mendapatkan
bonus demografi dalam kurun waktu 2010 hingga 2040, yakni tahun dimana
Indonesia memiliki jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar. Oleh karena itu, menurut Suryadarma, para
guru memiliki misi mengembangkan calon usia produktif ini dengan baik, supaya
nantinya dapat bermanfaat untuk pembangunan bangsa. “Kalau usia produktif ini
kita kembangkan dengan baik melalui pendidikan, maka dia akan menjadi modal
pembangunan,” tuturnya. Cara terbaik menyiapkan usia produktif tersebut antara
lain melalui pendidikan dan menjadikan mereka kompeten. “Oleh sebab itu, Menteri
mengatakan, dalam momentum hingga tahun 2040 ini, kita harus kembangkan PMU (Pendidikan
Menengah Universal),” tambahnya.
Salah satu cara untuk mengembangkan
PMU adalah melalui pembelajaran yang efektif. Untuk itu, menurut Suryadarma, program
Wajib Belajar Dikmen harus dimulai pada tahun depan. “Dengan kita intervensi
dalam PMU, maka diharapkan pada tahun 2020 nanti, APK pendidikan menengah bisa
mencapai 97%. Jika demikian, kita bisa melakukan penghematan selama 20 tahun,
hingga tahun 2040. Itulah sebab mengapa kegiatan PMU ini kita kembangkan di
kementerian mulai tahun depan,” terang Suryadarma.
Setidaknya, dua tema besar dalam
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini adalah tentang wajib belajar 12
tahun dan kurikulum 2013. “Dengan kurikulum 2013, diharapkan siswa menjadi produktif,
kreatif, inovatif, dan efektif. Tahu bagaimana harus bersikap, memahami pengetahuan,
sekaligus menguasai ketrampilan. Itulah esensi dari kurikulum 2013,” jelas
Suryadarma.
Menurut Suryadarma, kurikulum 2013
ini sebenarnya mengadopsi dari kompetensi abad 21. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, kompetensi abad 21 antara lain problem solving, kemampuan berinovasi, kemampuan berpikir kritis,
memecahkan masalah, dan cara bersikap. Hal ini hanya dapat tercapai jika
kompetensi tersebut diintegrasikan dengan kurikulum 2013. Selain itu, metode
penilaiannya pun harus mengalami perubahan. “Evaluasi yang harus dilakukan
tidak lagi hanya mengandalkan ujian nasional yang sifatnya multiple choice, tetapi nantinya akan diperkenalkan dengan
portofolio, dan authentic assessment.
Para guru akan dilatih untuk ini. Jadi bukan kurikulumnya saja yang berubah,
tetapi sistem penilaian juga berubah. Ini harus dipahami oleh para guru,” kata
Suryadarma.
Selain itu, guru harus senantiasa
merangsang murid-muridnya untuk bertanya dan menciptakan sesuatu. Dengan
demikian, mereka menjadi terlatih untuk kreatif. Selain itu, kultur guru jaman
dahulu yang tidak mau dikritik pun harus diubah. Guru harus terbuka dan mau
dikritik jika memang melakukan kesalahan. Guru harus paham apa yang sebenarnya
diharapkan dari siswanya. “Jadi, kita menyesuaikan bagaimana cara mereka
belajar. Kita harus beradaptasi dengan apa yang dia inginkan. Paradigmanya
berubah. Kita tidak bisa memaksakan cara kita mengajar, tetapi kita harus
mencari cara, pendekatan, dan pembelajaran, supaya mereka bisa memahami apa
pesan yang kita harapkan,” terangnya.
Digital Immigrant
Selain itu, menurut Suryadarma, para
guru pun harus memahami bahwa sejatinya mereka adalah digital immigrant, yakni pendatang baru di dunia digital, yang
sedang menghadapi digital native,
yakni anak-anak yang hidup pada era sekarang, siswa di abad 21. “Anak-anak
sekarang sebenarnya adalah digital native,
yakni penduduk asli dunia digital. Tapi kita sebagai imigran atau pendatang
baru dalam dunia digital justru mengajari mereka yang penduduk asli. Ini adalah
sebuah dilema, sekaligus fenomena yang kita hadapi untuk menuju pembelajaran
abad 21,” terang Suryadarma.
Dalam dunia digital, cara berpikir
dan belajar para digital native
berbeda dengan para digital immigrant.
Oleh karena itu, para digital native
pun memerlukan perlakuan yang berbeda dari apa yang pernah diterima oleh digital immigrant pada masanya. “Cara guru ngajar jaman dulu dan jaman
sekarang beda. Jaman dulu suruh nyatet, nggak baca buku, main, tidur. Tapi anak
jaman sekarang sudah bisa explore sendiri,”
kata Suryadarma. Multimedia menjadi bagian dari kehidupan. Siswa yang hidup
dalam dunia digital akan mengharapkan sentuhan teknologi dan multimedia ini pun
terjadi di dalam kelas. “Menurut studi di luar negeri, anak-anak menggunakan
media elektronik selama 6 jam untuk belajar. Jadi, mereka belajar sendiri.
Seperti inilah siswa yang kita hadapi sekarang,” imbuhnya. Untuk itu,
Suryadarma menghimbau pada para guru untuk menjadi guru abad 21.
Kendati demikian, Suryadarma
mengatakan bahwa meskipun para guru mengajar para digital native, tak menjadi suatu kewajiban bahwa para guru harus
menjadi ahli. Yang terpenting adalah cukup mengetahui bagaimana memanfaatkan
teknologi dalam pembelajaran. Guru sebagai fasilitator tidak berarti bahwa guru
harus tahu semuanya. “Saya tidak setuju kalau misalnya guru-guru ICT di sekolah
hanya mengajarkan tentang pengetahuan ICT itu sendiri. Lebih baik pelajaran ICT
itu adalah bagaimana memanfaatkan informasi yang ada di google atau youtube,
bisa didownload dan dieksplore untuk
pembelajaran. Tapi gurunya harus tahu dulu bagaimana caranya. Ini yang paling
penting,” ia menekankan.
Pionir
Pembelajaran Abad 21
Pemerintah berharap para guru
berprestasi ini menjadi pionir dalam pembelajaran, juga pionir dalam
memanajemen sekolah. “Jadi ke depan, kalau kita mau memilih
instruktur-instruktur, kita harapkan para guru berprestasi inilah orang-orang
yang potensial untuk kita manfaatkan jadi instruktur. Kami selalu minta kepada
Badan, kalau bisa, instruktur-instruktur nasional, dalam kurikulum dan
kebijakan apapun, kita harapkan teman-teman berprestasi ini yang didahulukan,”
tambahnya.
Hal ini dikarenakan para guru memiliki
tugas berat, yakni menyiapkan siswa-siswanya supaya mereka benar-benar
dibutuhkan dalam abad 21. Menurut Suryadarma, guru harus melihat pada
kompetensi baru. Untuk skill-nya
adalah problem solving, berpikir
kritis, kemampuan berinovasi, dan kemampuan berkolaborasi. Kompetensi ini diasah melalui Kurikulum 2013,
yang menekankan pada knowledge, skill,
attitude (KSA). Cara pembelajarannya adalah bagaimana menggunakan ICT.
Dalam Kurikulum 2013, hal ini dinamakan sebagai pendekatan scientific. Pendekatan scientific
adalah discovery, observasi, project list learning, dsb. Itulah yang
harus diberikan para guru dalam pembelajaran. “Anak-anak harus diberikan
kompetensi dan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus
terus belajar sepanjang hayat. Berapapun umur kita, janga pernah berhenti
belajar. Belajar tak harus kuliah, tapi
juga bisa dari membaca buku, seminar, dsb. Inilah yang disebut dengan continuing professional development,”
jelas Suryadarma.
Oleh karena itu, diharapkan bahwa para
PTK Dikmen Berprestasi dan Berdedikasi 2013 ini mampu menjadi pilot dalam
menyukseskan Kurikulum 2013, terutama melalui pembelajaran berbasis ICT untuk
anak-anak generasi abad 21. ***
Ditulis tahun : 2013
No comments:
Post a Comment