Guru GGD Papua : Nilai Jelek, Panah dan Parang Siap Mengancam

Ervin Indayati, S.Pd.
Guru Peserta GGD yang Mengajar di SMP Negeri 10 Warmare, Manokwari, Papua


Mengajar di pedalaman Papua adalah satu impian yang sangat diidamkan Ervin Indayati, S.Pd sejak lama. Berkat mengikuti program Guru Garis Depan, harapannya tercapai. Kini, wanita kelahiran Kediri, 28 Agustus 1987 ini mengabdikan dirinya di SMP Negeri 10 Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Saat pertama kali tiba di Manokwari, Ervin tinggal di sebuah rumah kos salah seorang warga yang jaraknya sekitar 800 meter dari sekolah dengan tarif sebesar 400 ribu rupiah per bulan. Kesan pertama tak begitu menyenangkan baginya, karena tempat kosnya tersebut jauh dari harapan kelayakan. “Tempat indekos saya berdinding kayu dan beratap seng tanpa ada plafon. Jika panas ya sangat panas. Mengatasinya cukup menggunakan buku tipis kemudian dikipas-kipaskan dengan tangan. Cara itu cukup berguna untuk memberikan sedikit kesejukan. Tapi sejak berada di Warmare, kulit saya yang hitam kini semakin gosong. Jika malam sangat dingin, sampai selimut pun tak mempan untuk memberi kehangatan. Jika hujan, berisiknya tidak karuan. Jika saya menyanyi sekeras apa pun tidak akan ada yang komentar karena kalah berisik dengan suara hujan,” ceritanya.

Ervin (paling kanan) bersama murid-muridnya.

Tempat indekos Ervin pun memiliki sedikit lahan di bagian belakang rumah yang luasnya sekitar 2x3 meter. Ervin memanfaatkan lahan tersebut untuk ditanami beberapa sayuran seperti tomat, cabai, kacang panjang, terong, ataupun kangkung demi membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kadangkala saya nimbrung makan bersama pemilik indekos, hitung-hitung mengurangi pengeluaran. Saya berusaha untuk menabung. Saya berharap suatu saat bisa memiliki rumah di sini karena saya enggan indekos terus. Pekerjaan sudah di sini, KTP sudah sini,” katanya.

Jarak dari tempat kos Ervin menuju pusat kota sekitar 45 km, yang bisa ditempuh dengan sepeda motor selama sekitar 1 jam. Kendati demikian, angkutan umum pun sudah banyak yang berseliweran. Taksi, demikian orang setempat menyebutnya. ‘Taksi’ yang digunakan biasanya menggunakan mobil Avanza yang bahkan adakalanya masih tergolong mulus. Tarif yang dikenakan dari tempat tinggal Ervin menuju ke kota sekitar dua puluh ribu rupiah.

Kondisi jalanan sudah cukup bagus dan mulus, hanya berkelok-kelok dan naik turun. Yang cukup rawan terjadi adalahnya kadangkala ada hewan-hewan yang berkeliaran di jalanan. “Jika menabrak hewan, umumnya dikenakan denda yang tak tanggung-tanggung mahalnya. Menurut masyarakat, denda yang diberikan ditentukan sesuai dengan jumlah puting pada hewan, terutama pada babi,” kata Ervin.

Berdasarkan keterangan dari penduduk setempat dan rekan sejawat di sekolah tempat Ervin mengajar, Warmare tergolong daerah yang sedikit rawan. Banyak pemabuk dan pencuri yang harus diwaspadai, terutama bagi pendatang yang masih single seperti Ervin. Meski demikian, pengetahuan tersebut tak lantas membuat Ervin berkecil hati. Bagaimanapun, sejak dari tanah asalnya ia telah membulatkan keyakinan untuk mengabdi di tanah Papua.

Para guru di SMP Negeri 10 Warmare cukup ramah terhadap Ervin. Sebagian besar, mereka adalah para pendatang atau peranakan para transmigran. “Yang suku Papua ada tiga orang, yakni kepala sekolah, guru Pkn, dan guru Agama Kristen. Guru perempuan hanya dua, yakni saya dan guru Agama Kristen,” kata Ervin. Rata-rata usia guru di SMP Negeri 10 Warmare sudah banyak yang senior, tetapi menurut Ervin semangat pengabdian mereka masih bergelora. Kendati demikian, metode pengajaran yang sering diterapkan masih banyak menggunakan metode ceramah dan mencatat, meski ada guru yang adakalanya menggunakan media audio dan atau visual. Hampir sebagian besar guru sudah memiliki laptop masing-masing.

Sarana di SMP Negeri 10 Warmare  sudah cukup baik karena sudah dilengkapi dengan lima unit komputer, proyektor, dan perangkat pendukungnya untuk memperlancar pembelajaran.  Sekolah pun memiliki jaringan internet, bantuan dari Pustekom. 

Sayangnya, kondisi perpustakaan sudah cukup memprihatinkan. Tak hanya dari sisi koleksi buku-bukunya, tapi juga kondisi bangunannya. Tidak ada petugas perpustakaan yang aktif stand by di perpustakaan. Buku-buku bacaannya tidak begitu mendukung, pun sudah banyak yang tua dan lapuk, ditandai dari adanya beberapa buku yang berlubang dimakan rayap. Hanya buku pelajaran KTSP dan K-13 yang masih dalam kondisi bagus. SMP Negeri 10 Warmare pernah menjalankan K-13 sebelumnya, namun kemudian kembali ke Kurikulum KTSP, terlebih karena guru-guru yang terlatih K-13 banyak yang tak lagi mengajar.

Banyak Pencuri dan Pemabuk
Lokasi SMP Negeri 10 Warmare dekat dengan hutan dan kelapa sawit, sehingga sering beberapa kali dijumpai ular bersarang di sekolah, terutama perpustakaan, yang paling dekat dengan hutan. “Pernah pula pintu perpustakaan berada dalam kondisi jebol karena ada pencuri yang masuk. Ruang guru pun pernah kemalingan. Jendelanya jebol, tembok pembatas yang terbuat dari triplek pun dirusak. Beberapa piring hilang,” kisah Ervin.

Namun yang menurutnya paling seru adalah aksi pencurian tali bendera. “Saat itu upacara sudah siap dimulai. Ketika pemimpin barisan melaporkan barisannya ke pemimpin upacara, berceletuklah seorang dari pemimpin barisan, ‘Tali benderanya tidak ada’, seraya menunjuk tiang bendera. Dan ternyata memang benar, tali bendera hilang. Mendapati hal tersebut, akhirnya upacara bendera pun dibatalkan. Sekolah tidak memiliki persediaan tali bendera sehingga bendera dipasang manual dengan cara menurunkan tiang benderanya,” kata Ervin.

Saat malam, sekolah menjadi gelap gulita, tak ada penerangan satu pun. Hal ini karena lampu-lampu yang dipasang di luar ruangan selalu hilang sehingga tidak pernah dipasang lagi. Pernah pula dijumpai sisa kulit kacang dan genangan air yang beraroma tak sedap di salah satu ruang kelas, yang mungkin dilakukan orang yang mabuk.

Kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 10 Warmare dimulai pada pukul 07.30 WIT. Meski demikian, banyak siswa yang terlambat datang ke sekolah. Salah satunya karena mereka harus berjalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo untuk menuju ke sekolah, bahkan ada yang harus menempuh jarak 10 kilometer. Jalanan menuju ke sekolah sudah beraspal mulus dan dilewati oleh angkutan umum/taksi, tetapi masih banyak siswa yang memilih berjalan kaki menuju sekolah daripada naik angkutan. Jika pada pagi hari turun hujan, maka banyak kemungkinan siswa yang bersekolah sedikit. Di SMP Negeri 10 Warmare, kedisiplinan siswa masih kurang bagus, karena masih ada siswa yang tidak masuk sekolah tanpa keterangan, bahkan hingga mencapai 20 hari selama satu bulan.

Siswa SMP Belum Bisa Membaca
Dikarenakan SMP Negeri 10 Warmare terletak di Distrik Warmare yang merupakan tempat transmigran pertama di Kabupaten Manokwari, beberapa siswa merupakan siswa peranakan transmigran. Namun siswa yang asli Papua, terutama dari Suku Arfak, pun juga cukup banyak, sekitar 85%. Namun demikian kemampuan siswa di SMP Negeri 10 Warmare ini cukup beragam. Ada yang bagus, ada yang tidak bagus. Bahkan masih ada siswa kelas VII yang belum hafal abjad atau huruf, apalagi membaca.

Ervin sempat berinisiatif untuk memberikan tambahan belajar sepulang sekolah pada murid-murid tersebut. “Saya mendesak kepala sekolah untuk membuatkan surat undangan orangtua siswa yang dianggap belum bisa membaca dan menulis. Dari 18 undangan yang diberikan, hanya dua orang tua siswa saja yang datang dan memberikan respon positif. Saya pun kemudian menyusun jadwal belajar tambahan kepada para siswa tersebut. Dari 18 siswa yang saya panggil, hanya tiga siswa yang datang. Masih sekitar 15 menit belajar, mereka sudah mengeluh lapar. Esok harinya, yang datang hanya satu orang. Esok harinya, tak ada yang datang. Saya panggil mereka, tidak ada yang menggubris saya. Alasan mereka jujur, malas dan lapar. Saya benar-benar tak berdaya,” keluh Ervin.

Berdasarkan pengamatan Ervin, siswa yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung adalah siswa yang berasal dari gunung. Umumnya, mereka bersekolah tidak sampai enam tahun. Mereka loncat kelas karena permintaan orangtua atas pertimbangan usia siswa yang sudah melampaui batas wajar tingkat pendidikan. Beberapa siswa dengan jujur mengatakan bahwa mereka jarang masuk sekolah karena membantu orangtua bekerja di ladang, ada pula karena malas. Mereka juga mengatakan bahwa guru mereka saat di SD pun jarang masuk dan mengajar. Kalau pun masuk, mereka hanya diberi catatan atau disuruh bermain saja. Beberapa siswa juga kedapatan merokok, bahkan ada yang membawa pisau seperti milik tentara dan pedang panjang. Nampaknya, kebiasaan berkelahi pun sudah dianggap wajar.

Saat ini, jumlah siswa di SMP Negeri 10 Warmare adalah 164 siswa, yang terbagi dalam  enam rombongan belajar. Sekitar 85% siswa beragama Kristen, dan 15% beragama Islam. Sekolah memiliki 7 ruang kelas, namun hanya 6 kelas yang berfungsi. Laboratorium IPA pun tidak berfungsi karena perlatannya sudah banyak yang rusak. Di SMP Negeri 10 Warmare, Ervin adalah wali kelas VII-B, dan juga mengajar Bahasa Indonesia di kelas VII, VIII, dan IX. Setiap Sabtu siang, ia juga membina ekstrakurikuler Pramuka.

Hingga saat ini, Sekolah masih belum memiliki guru Penjaskes dan guru Bimbingan Konseling, sehingga pelajaran Olahraga pun dibina oleh guru yang jam pelajarannya tidak sampai 24 jam per minggunya. Sedangkan untuk Bimbingan Konseling ditangani oleh masing-masing wali kelas.

Panah dan Pedang Mengancam
Menurut Ervin, mengatasi siswa di SMP Negeri 10 Warmare membutuhkan ekstra kesabaran. Problematika selalu muncul setiap hari. “Ada yang tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung saat masuk SMP. Mereka tidak mau diajak berubah. Diminta maju berbicara tidak mau, diajak belajar diam saja, diminta membaca malah menangis. Jika saya memberi penilaian sesuai dengan kondisi, parang dan panah mengancam,” kata Ervin. Ya, setiap tiba saatnya penulisan nilai rapor, Ervin selalu merasa galau dalam memberi nilai. Jika harus jujur sesuai fakta yang ada, ada ancaman panah dan pedang siap menghadang.

Meski demikian, Ervin selalu optimis bahwa pengabdiannya takkan pernah sia-sia. Misinya dalam mencerdaskan anak bangsa di pelosok negeri senantiasa menjadi senandung doa dan keyakinan yang menyertai setiap langkahnya di tanah seberang, Papua. ***


Ditulis tahun : 2016
Diterbitkan di Majalah Dikdas (Kemendikbud)

Sumber: Tulisan Ervin Indayati, S.Pd.

1 comment:

  1. Artikel yg bagus..
    Semangat mendidik yg luar biasa dari bu ervin n rekan2 ggd..
    Tetap semangat utk rekan guru semua.. 👍

    ReplyDelete