Profil Gurdasus : Mencari Baju Bekas untuk Murid


Rasidep, S.Pd.
Guru Daerah Khusus Provinsi Nusa Tenggara Barat


Sudah 20 tahun lamanya Rasidep, S.Pd menjadi guru daerah khusus di pedalaman Nusa Tenggara Barat. Penghasilannya sudah cukup lumayan dan terjamin, kehidupan keluarganya pun aman, tentram dan damai. Meski begitu, ada perjuangan yang keras di balik itu. Bahkan tak pelak Rasidep pun nyaris kehilangan nyawanya.

Rasidep ditugaskan untuk menjadi guru di Dusun Jangkar, Desa Jenggala, Kec. Tanjung , Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat sejak tahun 1994. Namun saat pertama kali ia datang, ia tak menemukan gedung sekolah. Tak ada pula kegiatan pembelajaran. Maka langkah awal yang dilakukan Rasidep adalah mencari anak-anak usia sekolah atau murid-murid yang dulu pernah bersekolah di SD darurat Beriri Jangkar.

Namun perjuangan tak sampai di situ. Pria kelahiran Tanak Song Lauk, 31 Desember 1970 ini benar-benar harus mengelola sendiri sekolah yang dibinanya dengan sarana dan fasilitas seadanya, bahkan minim. Untuk kegiatan pembelajaran, karena belum ada gedung sekolah, maka Rasidep mengajar murid-muridnya di rumah masyarakat yang beratap daun kelapa dan berlantai tanah. Sedangkan buku pelajaran yang digunakan untuk belajar siswa adalah buku Pemberantasan Buta Huruf (PHB) dan buku Kejar Paket A yang ia peroleh dari Kantor Desa Jenggala.

Selain kendala di atas, yang lebih memprihatinkan adalah pakaian sekolah anak yang sangat tidak layak pakai. “Selama dua tahun berturut-turut, saya dengan dibantu istri berkeliling ke desa-desa sekitar untuk mencari baju bekas dari anak SD lain maupun anak SMP yang sudah tamat,” kenang Rasidep. Untunglah kemudian Rasidep mendapat banyak penyumbang baju bekas yang trenyuh dengan kondisi anak-anak yang diajarnya.

Dusun Jangkar, tempat Rasidep mengabdikan diri, adalah sebuah daerah yang sangat terpencil di kawasan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian ± 700 mdpl membuat hawa di Dusun Jangkar cukup sejuk. Meski begitu, karena letaknya yang terpencil, maka Dusun Jangkar pun sangat terisolir dari akses informasi maupun akses jalan.

Hingga tahun 2006, Rasidep menempuh perjalanan menuju sekolah dengan menggunakan sepeda, kemudian berjalan kaki. Untuk itu, ia memakan waktu sekitar 2 jam, dengan jarak tempuh  kurang lebih 17 km. Oleh karena itu, Rasidep biasa berangkat ke sekolah sebelum adzan subuh.  Ia bahkan punya pengalaman pernah dua kali hampir terseret banjir saat menyeberangi sungai. Nyawanya hampir melayang, namun syukurlah Tuhan masih memberinya umur panjang. Namun demi menghindari kecelakaan yang sama, akhirnya Rasidep memutuskan untuk tinggal bersama penduduk setempat, dekat dengan sekolah, untuk sementara waktu.

Sejak berdiri pada tahun 1992, sekolah tempat Rasidep mengabdi  sudah mengalami ganti nama hingga sebanyak 4 kali, hingga yang terakhir, tahun 2005, menjadi SDN 6 Jenggala. Kali ini, sekolah sudah memiliki bangunan tembok sendiri yang sudah permanen.

Baru pada tahun 2006 akses menuju sekolah dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor melalui jalan setapak di pinggiran jurang, selama kurang lebih 1,5 jam, karena jalannya harus memutar mengelilingi perbukitan. “Akan tetapi kadang motor sering kita tinggalkan di tengah jalan karena terhalang oleh longsoran dan pohon tumbang,” kata ayah dua anak ini.


Meski SDN 6 Jenggala termasuk sekolah terpencil, namun Rasidep mampu membuktikan bahwa anak-anak di desa terpencil pun dapat mencetak prestasi, tak kalah dengan anak-anak yang berada di kota. “Pada tahun 2000, kami sempat memenangi peringkat 1 lomba bidang studi matematika tingkat gugus, dan merupakan peringkat keempat dari  52 SD se-kecamatan,” kata Rasidep bangga. Ia pun mengatakan bahwa keberhasilan-keberhasilan itu senyatanya juga merupakan sumbangsih dan partisipasi dari masyarakat setempat. *** 


Ditulis tahun : 2014
Diterbitkan di Buku Profil Gurdasus Tingkat Nasional 2014 (Kemendikbud) 

No comments:

Post a Comment